Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Â
Dimensi Alternatif: Baskom yang Bisa Bicara
Pada suatu malam yang terasa lebih sunyi dari biasanya, Kang Juhi duduk termenung di lantai kontrakannya, memandangi baskom tuanya yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun. Minyak di tangannya masih terasa licin, sisa dari menggoreng bakwan terakhir. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam itu.
"Juhi," tiba-tiba suara berat menggema di dalam kamar.
Kang Juhi melompat kaget. Matanya menyapu ruangan, mencari siapa yang berbicara. Namun, tak ada siapa-siapa.
"Juhi, di sini. Jangan melihat ke pintu. Aku ini baskommu," suara itu terdengar lagi.
Kang Juhi menelan ludah, memandangi baskom di depannya dengan rasa takut bercampur heran. "Baskom... bisa ngomong?"
"Kenapa nggak? Aku ini sudah lebih lama bersamamu daripada siapa pun. Aku tahu semua ceritamu, semua keluh kesahmu, bahkan omelan tetangga sebelah. Sekarang aku rasa waktunya aku ikut bicara," jawab baskom itu dengan nada tegas.
Kang Juhi menggelengkan kepala, merasa ini pasti karena kelelahan. Tapi suara baskom itu terus terdengar, membuatnya tak punya pilihan selain mendengarkan.
"Juhi, kamu ini terlalu sering merenung. Kamu pikir hidupmu ini berat banget, padahal kamu tidak melihat apa yang sudah kamu capai," ujar baskom.
"Capai apa? Jualan gorengan nggak bikin aku kaya. Gerobakku dirampas, pelanggan sering nawar, hidupku nggak ada yang berubah!" seru Kang Juhi.
Baskom terkekeh, suara logamnya terdengar nyaring. "Tapi kamu lupa, Juhi. Orang-orang yang beli gorengan kamu itu nggak cuma cari makanan. Mereka cari cerita. Mereka cari rasa. Bahkan aku yakin, ada yang balik lagi ke trotoar itu bukan cuma karena gorenganmu, tapi karena kamu. Kamu bikin mereka tertawa dengan celotehanmu. Kamu bikin mereka merasa hidup lebih ringan."
Kang Juhi terdiam. Baskom benar, meskipun ia enggan mengakuinya.
"Tapi, Baskom," kata Kang Juhi pelan, "kenapa hidup ini nggak pernah gampang? Apa aku salah kalau aku ingin sesuatu yang lebih baik?"
Baskom kembali terdiam sejenak, seolah sedang berpikir. "Juhi, hidup itu kayak gorengan. Kadang panas, kadang gosong, kadang nggak matang di dalam. Tapi kamu harus terus mencoba. Kalau nggak, apa gunanya aku ada di sini?"
Kang Juhi tertawa kecil. "Kalau gitu, kamu mau bantu aku apa, Baskom? Kamu bisa bicara, tapi nggak bisa bantu ngaduk adonan, kan?"
"Tunggu saja, Juhi. Aku ini nggak cuma baskom biasa. Aku bagian dari dimensi lain," jawab baskom penuh misteri.
Tiba-tiba, ruangan Kang Juhi bergetar. Cahaya terang memancar dari baskom itu, membuat Kang Juhi terlempar ke dunia yang aneh. Di sana, ia melihat gorengan raksasa melayang di langit, sementara manusia-manusia kecil memohon kepada mereka seperti dewa.
"Selamat datang di Dimensi Gorengan," ujar baskom, yang kini melayang di sebelah Kang Juhi. "Di sini, gorengan adalah segalanya. Dan kamu, sebagai pencipta gorengan, adalah seorang nabi."
"Apaan lagi ini?!" teriak Kang Juhi bingung.
Orang-orang kecil mulai berlutut di depan Kang Juhi. "Wahai pembuat gorengan, ajari kami cara menciptakan tahu isi yang sempurna!"
Baskom menyenggolnya dengan sisi bulatnya. "Lihat, Juhi. Di dunia ini, kemampuanmu adalah hal yang paling berharga. Kamu cuma perlu percaya."
Kembali ke Dunia Nyata
Dengan satu kedipan mata, Kang Juhi kembali ke kontrakannya. Baskom sudah kembali diam, seperti biasa. Namun, sesuatu telah berubah.
Ia tersenyum kecil sambil menatap baskomnya. "Kalau benar hidup ini kayak gorengan, aku cuma perlu terus ngaduk dan nggak takut nyemplung ke minyak panas, ya?"
Baskom tidak menjawab. Tapi Kang Juhi tahu, pelajaran malam itu akan terus ia ingat.
Esoknya, ia memulai harinya dengan semangat baru, membawa baskom tuanya yang diam-diam memancarkan aura keberanian.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H