"Kenapa nggak? Aku ini sudah lebih lama bersamamu daripada siapa pun. Aku tahu semua ceritamu, semua keluh kesahmu, bahkan omelan tetangga sebelah. Sekarang aku rasa waktunya aku ikut bicara," jawab baskom itu dengan nada tegas.
Kang Juhi menggelengkan kepala, merasa ini pasti karena kelelahan. Tapi suara baskom itu terus terdengar, membuatnya tak punya pilihan selain mendengarkan.
"Juhi, kamu ini terlalu sering merenung. Kamu pikir hidupmu ini berat banget, padahal kamu tidak melihat apa yang sudah kamu capai," ujar baskom.
"Capai apa? Jualan gorengan nggak bikin aku kaya. Gerobakku dirampas, pelanggan sering nawar, hidupku nggak ada yang berubah!" seru Kang Juhi.
Baskom terkekeh, suara logamnya terdengar nyaring. "Tapi kamu lupa, Juhi. Orang-orang yang beli gorengan kamu itu nggak cuma cari makanan. Mereka cari cerita. Mereka cari rasa. Bahkan aku yakin, ada yang balik lagi ke trotoar itu bukan cuma karena gorenganmu, tapi karena kamu. Kamu bikin mereka tertawa dengan celotehanmu. Kamu bikin mereka merasa hidup lebih ringan."
Kang Juhi terdiam. Baskom benar, meskipun ia enggan mengakuinya.
"Tapi, Baskom," kata Kang Juhi pelan, "kenapa hidup ini nggak pernah gampang? Apa aku salah kalau aku ingin sesuatu yang lebih baik?"
Baskom kembali terdiam sejenak, seolah sedang berpikir. "Juhi, hidup itu kayak gorengan. Kadang panas, kadang gosong, kadang nggak matang di dalam. Tapi kamu harus terus mencoba. Kalau nggak, apa gunanya aku ada di sini?"
Kang Juhi tertawa kecil. "Kalau gitu, kamu mau bantu aku apa, Baskom? Kamu bisa bicara, tapi nggak bisa bantu ngaduk adonan, kan?"
"Tunggu saja, Juhi. Aku ini nggak cuma baskom biasa. Aku bagian dari dimensi lain," jawab baskom penuh misteri.
Tiba-tiba, ruangan Kang Juhi bergetar. Cahaya terang memancar dari baskom itu, membuat Kang Juhi terlempar ke dunia yang aneh. Di sana, ia melihat gorengan raksasa melayang di langit, sementara manusia-manusia kecil memohon kepada mereka seperti dewa.