Mohon tunggu...
Yoss Prabu
Yoss Prabu Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang hobby menulis tapi tak pernah dipublikasikan. Aktivis teater, tapi jarang-jarang kumpul dengan insan teater. Agak aneh, memang. Ya, begitu. Biarkan saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngonrol dengan Baskom

12 Desember 2024   06:44 Diperbarui: 12 Desember 2024   06:44 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kang Juhi, pedagang gorengan. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran Jakarta. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.

Namanya juga dongeng.

*

Ngobrol dengan Baskom 

Yoss Prabu

Di malam yang gerah itu, Kang Juhi duduk bersila di lantai kontrakannya. Baskom besar di depannya masih menyisakan sedikit adonan gorengan. Namun, di mata Kang Juhi yang lelah, baskom itu bukan lagi sekadar benda mati. Baskom itu, entah bagaimana, selalu menjadi teman diskusinya yang paling setia.

"Eh, Baskom," Kang Juhi memulai, suaranya lirih tetapi penuh keyakinan, "kalau dipikir-pikir, ya, hidup ini lucu. Kita ini kayak gorengan, tahu nggak? Cuma adonan tepung, dikasih bentuk, terus digoreng di minyak panas. Tapi setelah itu? Apa bedanya kita dengan gorengan lain di gerobak? Nggak ada, kan?"

Ia berhenti sejenak, menatap pantulan wajahnya di permukaan baskom yang sedikit berminyak. Mata lelah itu seperti menunggu respons. Dan di saat-saat seperti ini, dalam imajinasinya yang liar, baskom itu menjawab.

"Memang begitu, Juhi," suara baskom terdengar dalam benaknya, berat dan penuh wibawa, "tapi kau lupa, gorengan yang berbeda bentuknya tetap bisa membawa kebahagiaan yang berbeda pula. Tempe bikin kenyang. Tahu isi bikin puas. Bakwan bikin orang rebutan. Itu bedanya."

Kang Juhi tertawa kecil, tetapi ada kepahitan di sana. "Ah, tapi kebahagiaan itu cuma sebentar, Baskom. Habis dimakan ya, selesai. Dilupakan. Aku ini sama aja, kan? Setelah gorengan habis, siapa juga yang peduli aku ini siapa?"

Baskom terdiam, atau mungkin berpura-pura bijak. Namun, dalam khayalan Kang Juhi, benda itu menjawab dengan tegas, "Tidak semua orang harus diingat, Juhi. Kadang tugasmu cuma jadi bagian kecil dari cerita orang lain. Dan itu cukup. Seperti aku, baskom tua yang cuma dipakai buat bikin adonan. Aku tidak mengeluh kok."

Kang Juhi mengangguk pelan, tetapi ia belum puas. Imajinasi liarnya terus menuntunnya ke dimensi lain. Dalam pikirannya, ia dan baskom itu tiba-tiba berada di sebuah ruang sidang megah. Di depan mereka ada meja panjang, dipenuhi manusia-manusia penting. Para pengusaha, pejabat, dan tokoh-tokoh besar.

"Dengar baik-baik, kalian semua," Kang Juhi berbicara dengan suara lantang, baskomnya didekap erat seperti mikrofon. "Kalian ini seperti minyak goreng! Selalu ada di atas, bikin semuanya panas. Tapi kalian lupa, gorengan itu tidak bakal enak kalau tidak ada adonan di bawahnya. Kalian itu cuma alat. Yang bikin hidup ini berjalan, ya kita. Orang-orang kecil!"

Para tokoh besar di ruang sidang itu hanya menatapnya dengan mata kosong. Baskom, sebagai penasihat setia, berbisik di telinganya, "Mereka tidak akan mengerti, Juhi. Mereka tidak pernah melihat dunia dari dasar penggorengan."

Kembali ke kenyataan, Kang Juhi mendesah panjang. "Baskom, aku ini aneh, ya?" tanyanya sambil menatap lagi permukaan baskom. Namun kali ini, pantulan wajahnya seperti memberi jawaban berbeda. Ia tersenyum kecil. "Tapi tidak apa-apa. Orang yang aneh biasanya lebih tahu bagaimana tentang hidup. Tentang kehidupan. Ya, kan?"

Dalam diamnya, baskom itu seperti mengangguk setuju.

Dan malam itu, Kang Juhi kembali tidur dengan rasa puas. Di dunia nyata, ia mungkin hanya pedagang gorengan keliling. Tapi di alam pikirannya, ia adalah seorang revolusioner, seorang filsuf, bahkan seorang penyair. Ia tidak pernah sendiri, karena di sana, baskomnya selalu siap mendengarkan.

Esok pagi, adonan baru, dan dialog baru akan dimulai.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun