Kang Juhi mengangguk pelan, tetapi ia belum puas. Imajinasi liarnya terus menuntunnya ke dimensi lain. Dalam pikirannya, ia dan baskom itu tiba-tiba berada di sebuah ruang sidang megah. Di depan mereka ada meja panjang, dipenuhi manusia-manusia penting. Para pengusaha, pejabat, dan tokoh-tokoh besar.
"Dengar baik-baik, kalian semua," Kang Juhi berbicara dengan suara lantang, baskomnya didekap erat seperti mikrofon. "Kalian ini seperti minyak goreng! Selalu ada di atas, bikin semuanya panas. Tapi kalian lupa, gorengan itu tidak bakal enak kalau tidak ada adonan di bawahnya. Kalian itu cuma alat. Yang bikin hidup ini berjalan, ya kita. Orang-orang kecil!"
Para tokoh besar di ruang sidang itu hanya menatapnya dengan mata kosong. Baskom, sebagai penasihat setia, berbisik di telinganya, "Mereka tidak akan mengerti, Juhi. Mereka tidak pernah melihat dunia dari dasar penggorengan."
Kembali ke kenyataan, Kang Juhi mendesah panjang. "Baskom, aku ini aneh, ya?" tanyanya sambil menatap lagi permukaan baskom. Namun kali ini, pantulan wajahnya seperti memberi jawaban berbeda. Ia tersenyum kecil. "Tapi tidak apa-apa. Orang yang aneh biasanya lebih tahu bagaimana tentang hidup. Tentang kehidupan. Ya, kan?"
Dalam diamnya, baskom itu seperti mengangguk setuju.
Dan malam itu, Kang Juhi kembali tidur dengan rasa puas. Di dunia nyata, ia mungkin hanya pedagang gorengan keliling. Tapi di alam pikirannya, ia adalah seorang revolusioner, seorang filsuf, bahkan seorang penyair. Ia tidak pernah sendiri, karena di sana, baskomnya selalu siap mendengarkan.
Esok pagi, adonan baru, dan dialog baru akan dimulai.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H