Mohon tunggu...
Yossie Fadlila Susanti
Yossie Fadlila Susanti Mohon Tunggu... Guru - Pendidik PAUD

Travelling susur tempat bersejarah seperti candi-candi peninggalan nenek moyang, bangunan kuno, dan mengulik sejarahnya adalah hal yang sangat saya sukai disamping profesi sebagai pendidik anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Subuh Berdarah di Bulan Ramadan, Sebuah Catatan Pilu Masa Lalu

16 Mei 2023   19:57 Diperbarui: 20 Mei 2023   14:08 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Freepik

          

               Sampai di sebuah tempat, tetiba Darmawan meminggirkan mobilnya di bahu jalan. Sebuah plang bertuliskan nama sebuah desa di wilayah pesisir utara pulau Jawa, membuat jantungnya kian berdegup kencang tak beraturan. Wajahnya menegang dan memerah, terlihat aliran keringat di wajahnya. Tubuhnya tetiba menggigil, suara gemeretuk dari giginya makin membuat tubuhnya kaku. Dingin. Septia mengambil selembar tissue untuk menyeka keringat yang mengucur deras di dahi suaminya.

            "Istighfar Mas, istighfar," ucap Septia pelan.

            Tak jauh dari Darmawan meminggirkan mobilnya, terlihat sebuah jalan rel kereta api melintang di depannya. Sekira 3 kilometer lagi mereka akan sampai di tempat tujuan mereka. Desa tempat kelahiran  Darmawan.

            Suasana jalan saat itu cukup ramai, karena esok adalah hari di mana orang biasa menyebut dengan Syawalan,  atau ada juga yang menyebutnya sebagai lebaran ketupat, yaitu kira-kira seminggu setelah hari raya Idul Fitri. Dari kejauhan, jalanan nampak lebih ramai, sebuah pasar tradisional penuh sesak dengan orang-orang. Rerata mereka membawa beberapa ikat kelontong ketupat. Sebuah tradisi yang masih terjaga hingga kini, yaitu  membuat ketupat lengkap dengan opor ayam, sambal goreng, dan kerupuk udang, untuk saling berbagi dengan orang-orang tercinta. 

            Rizky dan Amanda, dua anak  Darmawan dan Septia itu sengaja ditinggal di rumah neneknya, ibu dari Septia yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan ke desanya. Sebuah rahasia besar yang berkaitan dengan desa ini masih tersimpan rapat di benak Darmawan. Itulah sebabnya  Darmawan tidak mengajak serta anak-anaknya, ia belum sanggup berbagi kisah tentang masa lalunya.  Hanya kepada istrinya, Septia,  Darmawan mengungkapkan sebuah peristiwa pilu sekitar 37 tahun yang lalu!

            "Mas," ucap Septia sambil menyentuh bahu Darmawan suaminya yang masih memegang setir mobil.

            "Atur nafas, istighfar dan berdzikirlah, ikhlaskan semua yang telah berlalu, semua sudah diatur oleh Sang Pembuat Hidup, Mas," lanjut Septia dengan lembut menenangkan suaminya.

            "Apa sebaiknya kita cari masjid, untuk shalat dan beristirahat sebentar, Mas?" tanya Septia sambil memandangi wajah suaminya. Ia tampak khawatir dengan kondisi suaminya saat itu. Wajahnya kian tampak pucat pasi.

            "Tidak Mah, beri aku waktu 10 menit saja untuk mengatur nafas dan menenangkan pikiranku, lalu kita lanjutkan perjalanan menuju ke desaku, tempat aku dilahirkan," pinta Darmawan sambil menghela nafas panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun