"Le, bangun Le, sudah jam setengah tiga hlo, sana panggil teman-temanmu untuk mbangunin warga sahur," kata Yu Partinah sambil mengusap kepala anak tercintanya. Yu Partinah masih ingat kebiasaan almarhum suaminya yang selalu membangunkan Ardan untuk kegiatan itu selama Ramadan.
      "Ya, Bu," jawab Ardan yang langsung terbangun saat Ibunya menyentuh kepala sambil memanggil namanya.
      "Ini,  Ibu sudah menyiapkan lauk kesukaanmu hlo, ikan bakar sambel matah," kata Yu Partinah. Lauk itu juga adalah lauk kegemaran almarhum suaminya. Dulu, Kang Badrun suka memasak sendiri ikan bakar sambel matah, yang ikannya hasil memancing bersama Ardan di kali dekat jembatan. Kalau sekarang, Yu Partinah lebih sering membeli di pasar. Ia tak mengijinkan Ardan untuk pergi memancing sendiri.
      Waktu terus berlalu. Hari itu, Ardan tampak gagah dengan seragam barunya. Di dada sebelah kirinya terlihat sebuah bordiran halus bertuliskan "Pondok Al Hikmah." Padanan sarung kotak warna biru muda, pas sekali dengan warna seragamnya.
      "Persis Ayahnya ...," gumam Yu Partinah pelan. Ia tak sanggup lagi menahan buliran air mata yang meleleh di pipinya.
      Beberapa tas besar sudah turun dari armada yang membawa mereka ke Pondok Al Hikmah. Gerbang depan Pondok Al Hikmah ramai sekali. Hampir semua anak-anak santri baru diantar oleh kedua orang tuanya dan kakak adiknya. Beberapa bahkan diantar oleh kakek, nenek, paman dan bibinya. Sungguh pemandangan yang kontras dengan Yu Partinah dan Ardan.
      "Kang, hari ini aku sudah mewujudkan keinginanmu untuk memberikan pendidikan agama yang terbaik untuk anak kita, Ardan. Semoga kelak ia menjadi anak yang sholeh, yang membanggakan kita ya, Kang ...," suara Yu Partinah lirih. Ia berusaha menahan air matanya agar tak jatuh lebih deras lagi.
      "Ibu, baik-baik di rumah ya, Kakak janji akan belajar dengan baik di sini, seperti kata Ayah dulu, Bu," kata Ardan saat berpamitan kepada Ibunya. Mereka saling berpelukan. Rasanya Yu Partinah tak ingin melepaskan pelukan itu.
      Dari jauh, Yu Partinah masih memandang Ardan berjalan masuk ke halaman pondok sambil menyeret kopernya.
      "Mashaallah ... Allah Yang Maha Agung, Engkau tak pernah ingkar janji, Ya Rabb. La Tahzan, aku ndak boleh sedih, Ardan sudah berada di tempat terbaik untuk meraih cita-citanya. Mewujudkan impian Kang Badrun, almarhum suamiku tercinta," gumamnya. Ia berusaha menyemangati dirinya sendiri karena yakin Allah selalu bersamanya dan  takkan membiarkan hambaNya bersedih.
~ Yfs ~ Â