"Kak, besok kita mancing di kali dekat jembatan sana yuk," ajak Kang Badrun kepada Ardan anak lelakinya. Mereka selalu menyempatkan pergi berdua di kala Kang Badrun sedang libur kerja. Pokoknya ada saja kegiatan dan keseruan antara bapak dan anaknya setiap hari. Seperti puasa tahun lalu, yang ternyata adalah puasa terakhir yang mereka jalani bersama, sebelum Kang Badrun berpulang karena sakit mendadak.
      "Bangun ... bangun! Kak, ayoo ... bangun dong! Sudah jam setengah tiga nih, katanya mau ikut keliling mbangunin sahur," ucap Kang Badrun membangunkan Ardan saat itu.
      "Hhhhmm ... lima menit lagi Yah, masih ngantuuk ...," jawab Ardan sambil menggeliat, matanya masih susah dibuka. Semalam ia dan ayahnya berada di masjid untuk ber-i'tikaf.      Â
      I'tikaf merupakan salah satu upaya yang dilakukan umat muslim untuk meraih Lailatul Qadar di bulan Ramadan. Rasulullah menyebutkan bahwa i'tikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beri'tikaf bersama beliau.
Artinya: "Siapa yang ingin beri'tikaf bersamaku, maka beri'tikaflah pada sepuluh malam terakhir," (HR Ibnu Hibban).
      Kang Badrun selalu memberikan pendidikan agama yang baik untuk anak lelaki satu-satunya. Sejak kecil Ardan sudah dididik untuk menjalankan ibadahnya sesuai agama yang dianutnya.  Dan Kang Badrun adalah tauladan baginya. Itulah salah satu penyebab, mengapa Ardan berubah menjadi sosok yang pemurung sepeninggal ayahnya. Ia merasa pengayomnya selama ini hilang.
      "Le, Besok Minggu kita ke makam Ayah, ya," kata Yu Partinah suatu siang. Dilihat anaknya sedang asyik menggambar sesuatu di atas kertas. Kaligrafi. Ya, Ardan memang sangat berbakat di bidang seni, terutama kaligrafi. Lagi-lagi bakat ayahnya ternyata turun ke Ardan. Kang Badrun memang dikenal pandai melukis kaligrafi di desa Pakis. Beberapa lukisan Kaligrafi  indah yang terpajang  di masjid At Taqwa adalah hasil karyanya.
      "Ya, Bu, pagi aja ya, soalnya siangnya Kakak ada janji sama Pak Kyai  Rustam di masjid," jawab Ardan pelan.
      "Oh, iya, ya Le, la ada apa to, kok ndengaren janjian segala sama Pak Kyai?" Yu Partinah bertanya balik. Ardan tak menjawab. Ia tampak diam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
      "Bu, besok kalau Kakak lulus, boleh ndak meneruskan nyantri di Pondok Al Hikmah di Magelang?" tanya Ardan suatu ketika kepada Ibunya.
      "Mmm ... mondok? Mondok Le?" Yu Partinah terhenyak. Dadanya sempat terasa sesak mendengar putranya meminta ijin untuk mondok di Magelang. Terbayang, ia akan sendirian di rumah tua ini, ketika Ardan, anak satu-satunya harus pergi meninggalkan rumah untuk nyantri di pondok! Tak hanya itu, Yu Partinah juga memikirkan tentang dari mana beaya yang harus ia dapatkan untuk itu.