"Pah, nanti mampir ke rumah Jeng Dewi dulu ya sebentar, ngantar pesanan rendangnya," pinta Astri kepada suaminya.
     "Hah, mampir lagi? Rumah Dewi beda arah hlo dengan restoran yang kita tuju? Apa nanti nggak terlambat?" ucap Mas Bram.
     "Gak papa ... sebentaarrr aja Pah, soalnya rendangnya untuk buka keluarga Jeng Dewi sore ini," kata Astri meyakinkan suaminya. Mas Bram terdiam.
    "Uhhmmm, Mamah memang selalu bikin aku gemesh," kata Mas Bram tiba-tiba sambil mencubit pipi istrinya. Astri hanya tertawa manja. Mas Bram melihat arlojinya, sudah pukul 17.10 wib. Masih harus ke rumah Dewi untuk antar pesanan dan perjalanan ke restoran sekitar 15 menit, apalagi jelang waktu buka puasa, jalanan biasanya lebih padat dan ramai. Feelingnya, mereka akan terlambat untuk sampai ke restoran. Dan resiko dapat  omelan kakak ipar sudah bisa ia perkirakan.
Mobil akhirnya melaju ke jalan raya, anak-anak sibuk dengan gadgetnya masing-masing.Â
      "Ahh, akhirnya beres juga pekerjaanku hari ini," ujar Astri dengan wajah sumringah, lega.Â
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.35 wib, saat meninggalkan rumah Dewi, padahal hari ini waktu buka adalah pukul 17.41 wib. Sedangkan perjalanan menuju restoran  memakan waktu sekitar 15 menit lagi. Rasa gelisah mulai menyergap perasaan Astri.
     "Haduh, nyampe resto sebelum buka nggak ya?" gumamnya pelan. Ia tahu bakal kena omel kakak perempuannya.
     "Innalilahi wa inailaihi roji'un .... Pah ...," suara Astri tiba-tiba mengagetkan suaminya  yang memegang setir mobil.
     "Mamah, Papah kaget hlo, ada apa lagi Mah ...," kata suaminya sambil masih berkonsentrasi di jalan yang sudah sangat padat sore itu.
     "Sambal .... sambal ... sambal terasikuu ...masih tertinggal di meja makan," kata Astri sambil merenges kebingungan. Rupanya karena buru-buru, sambal terasi yang sudah disiapkan, lupa terbawa!