Selesai shalat, Ayah dan Kak Bimo kembali ke meja. Kini giliran Anisa, Amina dan mamanya. Mereka segera membawa mukena masing-masing menuju mushala. Letaknya tak jauh dari tempat di mana mereka duduk.
"Hlo, Yah, mana Anisa dan Amina?" tanya Maya setelah kembali bergabung.
"Bukannya tadi mereka shalat bareng Mama?" Pak Bram balik bertanya.
"Selesai shalat, aku sudah tidak melihat mereka Yah, aku pikir mereka sudah kembali ke sini," ujar Maya mulai was was.
"Coba Kak, telpon mereka, jangan-jangan mereka lupa jalan kembali ke sini," Pak Bram mencoba bercanda untuk menenangkan istrinya. Wajah Maya sudah pucat pasi, takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dengan putri kembarnya.
"Yah, hape mereka di sini, nih ... ," kata Bimo sambil menunjukkan hape yang masih ada di dalam tas mereka masing-masing. Si kembar hilang! Maya semakin resah. Matanya mulai berkaca-kaca. Â Â
"Subhanallah, di mana mereka Yah," Maya hampir menangis. Ia merasa bersalah telah membiarkan mereka berjalan kembali terlebih dahulu.
"Mungkin mereka sedang jalan-jalan sebentar Mah, tunggu saja," ujar Pak Bram menenangkan istrinya yang sudah mulai tak kuat menahan air mata.
Akhirnya Bimo bersedia mencari Si kembar dengan mengelilingi komplek resto. Pak Bram tak mengizinkan istrinya untuk ikut mencari. Ia tahu pasti istrinya akan panik sepanjang jalan. Pak Bram juga tak melaporkan kejadian ini ke pihak resto. Ia yakin Allah melindungi putri kembarnya di manapun mereka berada. Dan ia yakin takkan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Waktu berlalu, detik demi detik, menit demi menit. Ini bagaikan sebuah penantian yang menyiksa Maya. Selera makannya sudah hilang. Ia tak bisa berhenti memikirkan di mana putri kembarnya berada. Tangis Maya pecah juga. Ia sesenggukan menahan rasa sedih, kalut, cemas, bingung dan entah apalagi.
Tetiba Bimo menelepon dan mengabarkan bahwa Si kembar telah ditemukan! Kini mereka sedang kembali ke tempat mereka makan.