Mohon tunggu...
yose piliang
yose piliang Mohon Tunggu... -

16 tahun jadi jurnalis dan belum menemukan jati diri...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Akhir Sebuah Pilihan

30 Agustus 2010   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:35 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

HARI telah larut. Detak jam terasa kuat ditengah keheningan malam, saat kucoba memejamkan mata dan membiarkan helaan nafasku terasa begitu berat. Aku melenguh. Ukh...sudah pukul 02.45 pagi. Mataku tak jua bisa terpejam. Suara jangkrik di ujung pagar terasa bagai musik malam, yang menambah kegelisahanku. Kubiarkan si kecil mendekapkan kakinya di ujung selimut.

"Ya Tuhan....mengapa perasaan ini datang ?" lenguh hatiku. Namun lenguh itu terasa lepas dari bibir, refleks lengan kiriku menutup bibir seolah khawatir suamiku mendengarnya.

Kupandangi Supandi, pria yang telah 10 tahun mengisi hidupku. Nafasnya memburu, seolah tengah bertarung melawan letih setelah seharian bekerja. Betapa manisnya dia, meski tengah tertidur. Aku teringat saat pertama kali ibu mengenalkannya padaku. Usiaku baru 21 tahun, saat ibu berkata bahwa aku harus menikah.

"Yani, ini Pandi, anak Wak Tresno. Wak Tresno, anaknya Kek Jamal, yang rumahnya di simpang Pelangi," kata ibu kepadaku. Aku tersenyum. Sekilas keperempuananku muncul. Supandi terlihat sangat manis. Tingginya 170 centimeter, terlihat kurus dengan kemeja warna gelap. Kumis tipis terlihat mengitari atas bibirnya. Cowok idaman, bisik hatiku.

Sejak pertemuan itu, aku selalu berusaha untuk bisa bertemu Supandi. Dari alasan belajar Fisika, hingga minta diantarin belanja. Supandi pun akhirnya menyukaiku, meski secara fisik, kami sungguh tak harmonis. Tinggiku hanya 145 centimeter, tubuhku montok dan kulitku juga tak sebersih kulitnya. Tapi Supandi akhirnya memintaku untuk menjadi istrinya. Tanpa banyak pertimbangan, kami menikah setahun kemudian. Usiaku 22 tahun dan Supandi 32 tahun. Kata ibu, itu usia yang pas. Apalagi Supandi sudah bekerja sebagai tenaga honorer di Pemko Medan.

Rasanya hidupku sempurna. Punya suami ganteng dan kami saling mencinta. Apalagi, aku akhirnya diterima bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan. Tiga tahun bersama, Supandi akhirnya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil, sementara karirku terus naik dan mendapat jabatan sebagai Sekretaris. Tahun ketiga perkawinan, rasanya seluruh bintang berada tepat di atas rumah kami. Aku hamil, dan di tahun keempat, anak buah cinta kami lahir. Hidup terasa luar biasa, karena segalanya begitu sempurna.

Tahun kelima, Supandi mulai mengeluhkan pekerjaanku. Sebagai Sekretaris, waktuku habis untuk urusan kantor, sehingga kadang aku kehabisan waktu untuk mengurus Aldi, putra pertama kami. Aku mengacuhkan keluhan itu, karena jika aku merajuk, biasanya Supandi tak lagi mengungkitnya hingga beberapa hari.

Tahun ketujuh, aku kembali hamil. Meski ini anak kedua, tapi rasanya aku tak begitu suka. Entah karena bawaanku, atau entah karena terasa menganggu karirku, hamil kali ini tak begitu membahagiakan. Tapi Supandi sangat senang. Setiap malam, dia tak pernah lupa mengelus perutku yang kian hari kian membuncit. Supandi berharap anak kedua ini adalah perempuan agar menambah semarak keluarga kami. Tapi, meski yang lahir ternyata juga berjenis kelamin laki-laki, Supandi tak menunjukkan kekecewaan. Akupun terpaksa mengambil cuti panjang untuk proses kelahiran ini.

Dan, sekarang, si bungsu sudah berusia 1 tahun 6 bulan. Lucu dan menggemaskan. Meski jari kakinya sebelah kanan ada enam, tapi si bungsu ini memang jauh lebih pintar dari abangnya pada saat seusianya. Di usia 8 bulan, si bungsu yang akhirnya kami panggil Dedek sudah bisa bicara lebih lancar dibandingkan anak-anak seusianya. Waktukupun habis terpusat padanya. Perhatianku pada Supandi pun jauh berkurang. Kadang, makan malamnya pun enggan kusiapkan karena tubuhku letih harus bekerja di kantor dan mengurusi Dedek sepulang dari kantor. Hari-hari demi hari, hingga akhirnya akupun terperangkap dalam perasaan asing karena merasa tak diperhatikan dan tak ingin memperhatikan.

"Huh!!! " Detak jam semakin kuat menambah kegelisahanku. Malam ini aku sudah bertekad meninggalkan Supandi. Entah kenapa, cinta yang kumiliki kepadanya dan dulu begitu menggebu-gebu kini tak berharga lagi. Aku merasa Supandi kini bukanlah pria yang tepat untuk mendampingiku. Sebagai PNS, gaji yang diterima Supandi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami seminggu. Sisanya, akulah yang memberikan penghasilan terbesar dalam keluarga. Kadang, aku benci melihat cara Supandi memandang hidup. Tak perlu neko-neko, dan tidak berusaha keras untuk mendapatkan uang tambahan. Aku juga sering kesal, jika Supandi menasehatiku agar memberikan waktu cukup untuk keluarga. Rasanya, sepanjang perkawinan kami, waktuku habis untuk meniti karir yang semuanya untuk kepentingan keluarga.

"Hah...." Aku menghela nafas saat mengingat bagaimana Supandi menasehatiku agar tidak terburu-buru dalam mengambil putusan investasi. Rasanya dadaku mau pecah, karena nyatanya dalam perkawinan kami, akulah yang selalu berusaha keras memecahkan berbagai masalah keuangan.

Semua tentang Supandi terasa menyebalkan, saat aku mengenal Tommy. Rekan kerja yang selalu membantuku dalam setiap kesulitan. Dia manis, dan juga wangi. Setiap hari bersama membuat hubungan kami berubah. Benih-benih cinta tumbuh dan dalam waktu singkat, bunganya bermekaran. Apalagi saat mengandung Dedek, Tommy justru lebih perhatian dibandingkan Supandi. Setiap pagi, Tommy membawakan makanan kesukaanku dan siang mengajakku makan bersama di tempat yang aku suka.

Aku jatuh cinta dengan Tommy sejak lama. Sering memperhatikannya diam-diam dan berharap dia selalu ada di dekatku. Kami akhirnya berpacaran setelah aku melahirkan Dedek.

"Kita jalani saja hubungan ini dan lihat sampai dimana titiknya," kata Tommy padaku. Aku setuju, karena sulit bagiku harus meminta cerai dari Supandi untuk bisa memuluskan jalan cintaku dengan Tommy.

Hubungan ini lama-lama membuat jiwaku terganggu. Aku menjadi sangat mencintai Tommy. Tak ingin berpisah darinya dan merasa cemburu jika dia berbincang dengan karyawan lain. Satu-satunya yang kuinginkan hanya memilikinya. Dan malam ini, aku ingin menyelesaikan persoalan. Aku akan pergi, menjumpai Tommy dan meninggalkan kota ini karena hubungan kami tak mungkin direstui pihak manapun. Aku begitu ketakutan jika keluargaku tahu dengan sikapku. Aku juga takut Supandi kalap jika kuberitahukan secara baik-baik bahwa aku jatuh cinta dengan pria lain.

Lonceng kembali berdetak.....teng teng teng! Dadaku bertambah kencang. Ini waktunya, bisikku. Kulepaskan pelukan Dedek dan berjingkat menuju pintu kamar. Semua yang kubutuhkan telah kusiapkan di kamar kosong dekat kamar pembantu. Surat-surat berharga juga telah berada di posisinya. Perhiasan mahal, emas, berlian dan mutiara milikku juga sudah ada di dalam tas. Aku ingin bahagia!!! Tukasku dalam hati saat mataku membentur wajah Dedek yang polos. Aku berharap, kalimat itu bisa membuatku lebih tegar dengan keputusan ini. Aku juga merasa bahwa kalimat itu adalah alasan yang tepat untukku mengambil pilihan meninggalkan semuanya.

Malam terlalu larut....hingga tak seorangpun mendengar aku mengeluarkan mobil dari garasi. Suara jangkrik membantu menutupi suara gerendel pintu pagar. Akupun berlalu, meninggalkan rumah yang sudah sekian lama menjadi rumah bagiku dan keluargaku. Tak terasa nyeri.....meski aku harus meninggalkan anak-anak yang kucintai. Masa bodoh! Menurutku, kelak suatu hari nanti, kedua putraku akan mencari aku dan bisa memahami mengapa aku melakukan ini.

****

Jam tanganku menunjukkan waktu 03.30 wib saat mobilku tiba di depan rumah Tommy. Sudah lima kali kuhubungi Tommy, tapi tak juga mengangkat telponku. Aku yakin kekasihku itu sangat lelap hingga tak mendengar dering panggilan dari hapenya.

Rumah Tommy terlihat sepi. Lampu di ruang tamu padam, hanya terlihat suasana remang di beranda. Ini sebenarnya kali pertama aku datang ke rumahnya. Biasanya, aku hanya berdiam dalam mobil karena Tommy tak berani mengajakku bertemu keluarganya. Aku mulai merasa, keengganan menyelimuti hati. Rasanya malu menggedor pintu rumah orang di tengah malam seperti ini. Kenapa Tommy tak mengangkat telponku? Huh....aku mulai kesal. Kulirik jam tangan Bonia, hadiah dari Tommy yang melingkar di pergelangan tanganku.

Klip!! Lampu ruang tengah dihidupkan. Sekilas kulihat bayangan dari balik tirai. Ada orang yang bangun, bisikku. Aku mematikan mesin mobil dan mengumpulkan semua keberanian untuk masuk ke halaman rumah Tommy. Meski malam demikian pekat, tapi aku merasakan keasrian rumah tinggal ini. Suara langkah kakiku sepertinya mengagetkan bayangan di balik tirai.

"Siapa ?" terdengar suara wanita berteriak dari dalam rumah. Aku mengetuk pintu dan berharap ketukan ini bisa membuatnya lebih tenang.

"Assalamualaikum..." kataku pelan, nyaris tak terdengar karena suaranya lebih mirip teriakan ditengah malam seperti ini.

Breeet....tirai di dekat pintu terbuka. Seorang wanita dengan wajah tirus melongok dari balik tirai. Kimono yang dipakainya terbuka di bagian dada, hingga aku bisa melihat jelas payudaranya yang ketat tak terbalut apapun.

"Siapa?" Tanya si wanita dari balik tirai, wajahnya menyelidik dan diisi rasa curiga.

"Saya Yani, mbak. Temannya Tommy, maaf saya datang jam segini," kataku terpatah-patah. Kudengar langkah kakinya menjauh meninggalkan aku di balik pintu.

Hanya beberapa detik, aku melihat si wanita kembali dengan Tommy. Dadaku gemuruh.....tak tahu apa yang kurasakan. Aku yakin Tommy bahagia dengan putusanku. Yakin, saat Tommy melihatku berada di depan pintu rumahnya, langsung memelukku dengan penuh kehangatan seorang kekasih. Mataku nanar, rasanya air mataku ingin tumpah tak sabar menunggu pintu terbuka.

Rasanya butuh waktu bermenit-menit hanya membuka kunci pintu. Darr!!! Aku langsung lari ke pelukan Tommy saat pintu terbuka. Menangis tersedu-sedu hingga tak menyadari Tommy kaget dengan sikapku. Aku juga tak menyadari wanita yang berada disamping Tommy langsung pucat dan memandang marah ke arah Tommy. Aku masih tak menyadari saat Tommy melepaskan pelukanku dengan marah dan nyaris menghempaskanku ke dinding. Perasaanku begitu dalam, begitu yakin bahwa Tommy akan mengacungkan jempol untuk semua pengorbananku.

"Ada apa, Yan? Kamu datang malam-malam begini, nggak tau sopan santun kamu ya? Apa kata orang nanti?" kata Tommy dengan wajah marah.

Aku menangis tersedu-sedu. "Aku mau kita bahagia Tom, aku sudah memutuskan pergi dari rumah," kataku di sela tangis.

Braaak!!! Wanita tirus itu langsung membantingkan kursi dan pergi. Aku terdongak, bukannya dia kakak Tommy, bathinku.

Tommy sontak melepaskanku. Berlari mengejar wanita tirus tanpa bra dan tak sempat mengikat ikan pinggangnya hingga siluet tubuhnya terlihat jelas dibalik cahaya.

"Ratna....tunggu!! Dengar dulu!" Aku terpaku, nanar memandang fhoto perkawinan ukuran 1 kali 2 meter yang terpajang di pojok kanan. Ada wajah Tommy dan wanita tirus mengenakan longdress warna hijau dewangga. Lututku terasa goyah, langit-langit terasa menghimpitku. Teganya Tommy membohongiku selama ini.

Bulan mengkerucut ke arah Timur saat kakiku terseok menuju mobil. Terlalu gelap karena mataku dipenuhi air mata dan dadaku sesak oleh kemarahan. Semua sudah kuberikan untuk Tommy, cintaku, tubuhku dan uangku. .....rasanya semua gelap. Gelap!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun