Mohon tunggu...
yose piliang
yose piliang Mohon Tunggu... -

16 tahun jadi jurnalis dan belum menemukan jati diri...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Akhir Sebuah Pilihan

30 Agustus 2010   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:35 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua tentang Supandi terasa menyebalkan, saat aku mengenal Tommy. Rekan kerja yang selalu membantuku dalam setiap kesulitan. Dia manis, dan juga wangi. Setiap hari bersama membuat hubungan kami berubah. Benih-benih cinta tumbuh dan dalam waktu singkat, bunganya bermekaran. Apalagi saat mengandung Dedek, Tommy justru lebih perhatian dibandingkan Supandi. Setiap pagi, Tommy membawakan makanan kesukaanku dan siang mengajakku makan bersama di tempat yang aku suka.

Aku jatuh cinta dengan Tommy sejak lama. Sering memperhatikannya diam-diam dan berharap dia selalu ada di dekatku. Kami akhirnya berpacaran setelah aku melahirkan Dedek.

"Kita jalani saja hubungan ini dan lihat sampai dimana titiknya," kata Tommy padaku. Aku setuju, karena sulit bagiku harus meminta cerai dari Supandi untuk bisa memuluskan jalan cintaku dengan Tommy.

Hubungan ini lama-lama membuat jiwaku terganggu. Aku menjadi sangat mencintai Tommy. Tak ingin berpisah darinya dan merasa cemburu jika dia berbincang dengan karyawan lain. Satu-satunya yang kuinginkan hanya memilikinya. Dan malam ini, aku ingin menyelesaikan persoalan. Aku akan pergi, menjumpai Tommy dan meninggalkan kota ini karena hubungan kami tak mungkin direstui pihak manapun. Aku begitu ketakutan jika keluargaku tahu dengan sikapku. Aku juga takut Supandi kalap jika kuberitahukan secara baik-baik bahwa aku jatuh cinta dengan pria lain.

Lonceng kembali berdetak.....teng teng teng! Dadaku bertambah kencang. Ini waktunya, bisikku. Kulepaskan pelukan Dedek dan berjingkat menuju pintu kamar. Semua yang kubutuhkan telah kusiapkan di kamar kosong dekat kamar pembantu. Surat-surat berharga juga telah berada di posisinya. Perhiasan mahal, emas, berlian dan mutiara milikku juga sudah ada di dalam tas. Aku ingin bahagia!!! Tukasku dalam hati saat mataku membentur wajah Dedek yang polos. Aku berharap, kalimat itu bisa membuatku lebih tegar dengan keputusan ini. Aku juga merasa bahwa kalimat itu adalah alasan yang tepat untukku mengambil pilihan meninggalkan semuanya.

Malam terlalu larut....hingga tak seorangpun mendengar aku mengeluarkan mobil dari garasi. Suara jangkrik membantu menutupi suara gerendel pintu pagar. Akupun berlalu, meninggalkan rumah yang sudah sekian lama menjadi rumah bagiku dan keluargaku. Tak terasa nyeri.....meski aku harus meninggalkan anak-anak yang kucintai. Masa bodoh! Menurutku, kelak suatu hari nanti, kedua putraku akan mencari aku dan bisa memahami mengapa aku melakukan ini.

****

Jam tanganku menunjukkan waktu 03.30 wib saat mobilku tiba di depan rumah Tommy. Sudah lima kali kuhubungi Tommy, tapi tak juga mengangkat telponku. Aku yakin kekasihku itu sangat lelap hingga tak mendengar dering panggilan dari hapenya.

Rumah Tommy terlihat sepi. Lampu di ruang tamu padam, hanya terlihat suasana remang di beranda. Ini sebenarnya kali pertama aku datang ke rumahnya. Biasanya, aku hanya berdiam dalam mobil karena Tommy tak berani mengajakku bertemu keluarganya. Aku mulai merasa, keengganan menyelimuti hati. Rasanya malu menggedor pintu rumah orang di tengah malam seperti ini. Kenapa Tommy tak mengangkat telponku? Huh....aku mulai kesal. Kulirik jam tangan Bonia, hadiah dari Tommy yang melingkar di pergelangan tanganku.

Klip!! Lampu ruang tengah dihidupkan. Sekilas kulihat bayangan dari balik tirai. Ada orang yang bangun, bisikku. Aku mematikan mesin mobil dan mengumpulkan semua keberanian untuk masuk ke halaman rumah Tommy. Meski malam demikian pekat, tapi aku merasakan keasrian rumah tinggal ini. Suara langkah kakiku sepertinya mengagetkan bayangan di balik tirai.

"Siapa ?" terdengar suara wanita berteriak dari dalam rumah. Aku mengetuk pintu dan berharap ketukan ini bisa membuatnya lebih tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun