Mohon tunggu...
Yosi Wulandari
Yosi Wulandari Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, penulis, peneliti, pengabdi, dan pembelajar

Yosi Wulandari memiliki motto "Aku adalah Batas Impianku". Merupakan dosen di Universitas Ahmad Dahlan sejak tahun 2014, mengajar pada program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini sedang menempuh pendidikan S-3 di Universitas Gadjah Mada. Penulis aktif menulis kolom opini, cerpen, puisi, cerita sejarah, di beberapa media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Falsafah Alam dalam Rumah Bagonjong

17 Juli 2021   10:49 Diperbarui: 17 Juli 2021   11:09 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minangkabau merupakan salah satu suku yang memiliki keunikan pada sistem kekerabatan yang dianut kaumnya, yaitu matrilineal. Kekuatan sistem kekerabatan matrilineal tersebut juga termuat pada daya tarik bangunan rumah adatnya. Kekuatan filosofi alam pun melandasi bangunan rumah adat Minangkabau tersebut. Rumah Gadang begitu nama yang biasa disebut untuk rumah adat Minangkabau. A.A. Navis dalam buku Cerita Rakyat dari Sumatera Barat menyebutkan Rumah Gadang juga memiliki nama lain Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang oleh masyarakat Minangkabau. Penamaan ini disinyalir berdasarkan bentuk gonjong yang saling berdekatan sehingga terkesan berderet memanjang dan bergesekan. Masyarakat Indonesia begitu mengenalinya karena rumah gadang telah menjadi ikon untuk menunjukkan kekhasan atau warna identitas. Akan tetapi, ada banyak cerita menarik yang belum banyak diketahui tentang Rumah Gadang dari asal usul hingga makna arsitekturnya.

***

Rumah Gadang sebagai kekayaan budaya diceritakan lahir sebagai lambang kemenangan kerbau raja Minangkabau melawan raja Jawa karena tanduk runcingnya. Lambang tanduk inilah yang digunakan sebagai penanda kejayaannya. Cerita lain asal muasal bentuk atap rumah gadang yang runcing adalah bentuk kapal "Lancang" pada waktu itu melintasi Sungai Kampar. Bentuk bangunan Rumah Gadang pun meniru badan kapal "Lancang" yang ditumpangi nenek moyang orang Minangkabau.

Diceritakan saat kapal itu sampai di muara sungai, dibawalah ke daratan oleh peara penumpan dan awak kapal agar tidak lapuk. Lancang pun ditopang dengan kayu-kayu agar dapat berdiri dengan kuat. Kemudian, diberilah atap dengan tiang layar yang diikat tali . Beratnya beban menyebabkan tiang miring dan melengkung dan berbentuk lancip mirip seperti gonjong Rumah Gadang.

Lancang pun beralih fungsi menjadi tempat tinggal kediaman sementara. Setelah beberapa lama, penumpang pun membuat tempat tinggal menyerupai lancang. Nenek moyang pun melanjutkan perjalanan dan meyebar akan tetapi bentuk lancang yang bergonjong terus digunakan oleh masyarakat sebagai ciri khas rumah mereka. Oleh orang Minang bentuk rumah seperti lancang yang bergonjong tersebut disebut Rumah Gadang.

Filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang menganut falsafah alam pun turut mempengaruhi bentuk bangunan Rumah Gadang. Jika diperhatikan bentuk dan garis bangunan Rumah Gadang begitu serasi dengan Bukit Barisan sebagai salah satu gambaran alam di wilayah Minangkabau. Bukit Barisan memiliki garis lengkung pada puncaknya dan pada bagian tengah yang meninggi, serta garis lereng yang melengkung dan mengembang ke bawah dan bahkan bentuknya pun segi tiga. Bentuk gonjong tersebut dimaknai sebagai harapan untuk mencapai Sang Pencipta.

Secara estetik, garis alam Bukit Barisan dan Rumah Gadang terlihat ada perbedaan namun memiliki muatan harmonis. Komposisi tersebut secara fungsi menunjukkan adanya penyesuaian dengan kondisi alam yang tropis. Bentuk atap yang lancip pun dapat membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis sehingga curah hujan yang tinggi pun akan cepat meluncur pada atap. Sementara dindingnya dibuat dari potongan anyaman bambu sebagai lambang kekuatan dan utilitas masyarakat Minangkabau

Bentuk bangunan Rumah Bagonjong itu begitu syarat dengan makna. Jika diperhatikan seksama bangunan rumah tersebut besar ke atas dan ini disebut silek yang berfungsi untuk membebaskan dan terpaan tampias. Tingginya kolong memberikan kesegaran saat musim panas sehingga hawanya selalu sejuk. Ketinggian bangun yang mencapai 2 meter pun memberikan kenyaman pada penghuni sehingga aman dari serangan hewan buas pada masa lampau. Bangunan yang berjajar menurut arah mata angin, yaitu dari utara ke selatan berfungsi membebaskan penghuninya dari terpaan panas matahari dan angin.

Makna filosofi lainnya pada bentuk rumah adat Minangkabau ini adalah pada bagian depan yang dibuat tinggi menyerupai rumah panggung. Tujuan ini adalah agar bagian bawah dapat digunakan untuk mencuci kaki dan bagian depan dibuatkan tangga pada pintu masuk. Tangga yang digunakan untuk memasuki rumah diletakan pada bagian depan dan tidak boleh lebih dari satu. Makna satu tangga ini adalah berkaitan dengan ajaran agama Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Minangakabau, yaitu percaya kepada Tuhan yang Maha Esa.

Berdasarkan falsafah alam yang melingkupi bangunan Rumah Gadang Minangkabau tersebut, terlihat banyak fungsi bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan, bagi masyarakat Minangkabau Rumah Gadang dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kolam ikan yang dibangun di depan rumah, selain untuk memelihara ikan juga menunjukkan adanya sumber air yang banyak sebagai kebutuhan vital sehari-hari. Selain itu, di depan rumah terdapat Rangkiang dengan bentuk bujur sangkar beratap ijuk bergonjong. Bangunan ini memiliki 4 hingga 6 tiang dan salah satu sisinya memiliki pintu kecil. Rangkiang merupakan bentuk atau simbol survival masyarakat Minangkabau. Rangkiang ini pun memiliki macam-macam berdasarkan fungsinya masing-masing. Semua rangkiang memiliki fungsi untuk menyimpan padi, tetapi ada yang berisi padi abuan atau bibit, padi untuk makan sehari-hari, padi untuk masa paceklik, dan padi untuk hal atau kondisi lainnya.

Secara rinci berikut nama-nama Rankiang yang terdapat di Rumah Gadang. Pertama, Sitinjau Lauik, rangkaian ini memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi dan digunakan untuk dijual bagi keperluan bersama atau pos pengeluaran adat. Rangkiang ini berbentuk langsing, bergonjong dan berukir, terdiri dari empat tiang dan diletakan ditengah. Kedua, Sibayau-bayau, rangkiang ini berguna untuk menyimpan padi untuk kebutuhan sehari-hari. Bentuk rangkiang ini besar/gemuk, bergonjong dan berukir, memiliki enam tiang dan letaknya di kanan. Ketiga, Sitangguang Lapa/Sitangka lapa, rangkiang ini digunakan untuk menyimpan padi pada musim kemarau dan membantu masyarakat miskin. Rangkiang ini berbentuk segi, bergonjong, berukir, teridir dari empat tiang dan diletakan di sebalah kiri. Keempat, Kaciak/kecil, rangkiang ini berfungsi untuk menyimpan padi bibit sebagai biaya untuk mengolah sawah kembali. Bentuk rangkiang ini bundar, bergonjong dan berukir, diletakan antara ketiga rangkiang yang lain.

Menilik lebih lanjut, Rumah Gadang memiliki ruangan yang berbentuk persegi panjang dan terdiri dari lanjar dan ruang lepas yang dibagi berdasarkan batas tiang. Rumah Gadang memiliki empat tiang utama atau yang disebut juga tiang tua Rumah Gadang dengan makna yang spesial.  Mendirikan tiang tersebut berarti menegakan kebesaran. Tiang tersebut berasal dari pohon juha panjang dan berdiameter besar, biasaya berukuran 40---60 cm. Proses penegakan tiang tersebut pun memiliki prosesi yang lama. Batang pohon yang akan digunakan harus direndam dalam kolam selama bertahun-tahun. Proses perendam ini bertujuan agar tiang utama menjadi kuat, anti rayap, dan dapat bertahan hingga ratusan tahun. Rumah Gadang pun tidak menggunakan paku sebagai pengikat, melainkan memanfaaatkan pasak untuk sambungan sehingga membuat bangunan menjadi lentur.

Pilar-pilar yang dimiliki rumah adat Minangkabau itu berwarna-warni. Pilar disusun dalam lima baris yang berjejeran sepanjang rumah. Pilar juga digunakan untuk latar calon pasangan yang akan menikah di malam bainai. Barisan tersebut merancang adanya empat ruang panjang atau lanjar. Area lanjar belakang digunakan sebagai kamar tidur. Sedangkan lanjar lain berguna sebagai tempat umum atau dikenal dengan istilah labuah gajah yang digunakan untuk upacara tertentu. Pada bagian depan terdapat anjungan yang digunakan untuk acara-acara adat dan keagamaan pada bagian kiri dan kanan rumah. Menariknya, dapur di bangun terpisah, yaitu pada bagian belakang rumah.

Rumah Gadang juga memiliki keunikan lain pada jumlah ruangannya. Jumlah ruangan dibuat sesuai dengan jumlah anak gadis dalam satu keluarga. Anak perempuan yang telah menikah akan diberikan ruangan/kamar terpisah bersama suaminya. Anak perempuan yang masih gadis diharuskan tinggal bersama dalam satu kamar. Pembagian tersebut sangat syarat dengan falsafah hidup orang Minangkabau dan sistem kekerabatan yang dianut.

Secara keseluruhan, Rumah Gadang dibangun dengan memperhatikan syarat-syarat keindahan dan fungsi yang disesuaikan dengan nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan ksetangkupan dalam keutuhan yang padu. Secara filosofi makna gadang (besar) yang diusung rumah adat Minangkabau tersebut adalah pada fungsi yang dibawanya. Fungsi adat misalnya, rumah gadang digunakan untuk tempat melangsukan acara-acara adat, kegiatan adat tersebut berkaitan dengan siklus kehidupan mereka, yaitu turun mandi, khitan, perkawinan, pengangkatan penghulu (batagak gala), dan kematian. Fungsi tersebut bersifat temporer, yaitu berlangsung pada waktu-waktu tertentu saja. Fungsi kedua adalah fungsi keseharian, yaitu menampung segala kegiatan sehari-hari penghuninya.

Berikut petuah yang biasa digunakan untuk menjelaskan makna Rumah Gadang:

Rumah Gadang basa batuah, Tiang Banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, banduanyo sambah-manyambah, Banjanjang naik bantanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliaknyo aluang bunian.

Petuah tersebut menjelaskan fungsi rumah gadang melingkupi keseluruhan kehidupan sehari-hari orang Minangkabau. Selain sebagai kediaman dan memelihara keluarga, rumah gadang juga digunakan sebagai tempat melaksanakan upacara adat, tempat tinggal keluarga yang diatur secara baik untuk perempuan yang belum bekeluarga dan yang sudah, dan sebagai tempat mufakat. Jadi, Rumah Gadang merupakan bangunan yang sengaja digunakan sebagai pusat bagi seluruh kaum membicarakan berbagai persoalan bersama, baik dalam satu suku, kaum, ataupun nagari dan seterusnya.

***

Melihat Rumah Gadang, selain arsitektur bangunan yang menarik, rumah adat Minangkabau tersebut juga memiliki ornamen atau ukiran yang syarat dengan filosofi alam Minangkabau. Ukiran yang terdapat pada bangunan rumah adat Minangkabau dipenuhi berbagai motif yang menawan. Tembok yang terbuat dari papan tersebutlah yang diukir dengan motif-motif yang indah. Pilihan motif pun tentunya semua yang berkaitan dengan alam, mulai dari akar, buah, bunga, daun, bentuk empat persegi, pola melingkar yang beraturan, peralatan kehidupan sehari-hari, hinga nama-nama hewan. Perpaduan arsitektur dan motif inilah yang memberikan kemegahan dan keindahan unsur tradisional Rumah Gadang Minangkabau.

Motif ukiran pada Rumah Gadang Minangkabau didasarkan pada adat basandi syarak  yang memiliki tiga nilai filosofi. Pertama, ukua jo jangka, filosofi ini bermakna jika mengukur menggunakan jangkar. Kedua, alue jo patuik, filosofi ini bermakna memperhatikan alur dan kepatutan. Ketiga, raso jo pariso, filosofi ini bermakna mengandalkan rasa dan memeriksa sesuatu berdasarkan rujukan bentuk geometris.

Motif ukiran pada Rumah Gadang selain memiliki makna filosofi tersebut dibuat juga untuk menambah unsur seni sebagai pelengkap keindahannya. Motif yang terispirasi dari tumbuh-tumbuhan dikenal dengan nama, kaluak paku jo kacang balimbiang, aka dua ganggang, dan aka barayun.  Motif yang terisnpirasi dari nama hewan ada itiak pulang patang, bada mudiak, tupai managun, ruso balari dalam ransang, dan lain sebagainya. Motif yang terinspirasi dari nama benda dalam kehidupan sehari-hari ada bernama ampiang taserak, limpapeh, dan abun dewi. Motif ukiran tersebut pun dicat dengan warna yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau, yaitu kombinasi merah, hitam, kuning, dan hijau.

Makna beberapa motif ukiran Minangkabau, secara umum dipilih delapan motif berikut. Motif Kaluak Paku, dimaknai anak dipangku kemenakan dibimbing, artinya seoarang Mamak memiliki peran ganda sebagai ayah ataupun mamak dalam kaumnya. Motif Pucuak rabuang, berarti kecil berguna dan besar terpakai. Motif Saluak laka, berarti kekerabatan yang saling berkaitan. Motif Jala, diartikan pemerintahan Bodi Caniago. Motif Jerat, berarti pemerintahan Koto Piliang. Motif Itiak Pulang Petang, diartikan ketertiban anak kemenakan. Motif Sayaik Galamai berarti ketelitian. Motif Sikambang Manis berarti keramah tamahan.

Seni ukir yang tertuang dalam rumah gadang Minangkabau tersebut merupakan salah satu kekhasan yang dimiliki oleh adat Minangkabau. Kekayaan aset budaya lokal ini pun terus dijaga hingaa saat ini. Selain memiliki nilai seni yang indah, motif ukir tersebut juga memiliki makna filosofis yang dipegang teguh dalam falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Makna filosofis secara umum menggambarkan keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat Minangkabau dengan alam, cara bergaul atau kehidupan sosial antar individu dalam masyarakat, tatanan sistem pemerintahan, hubungan sinergis  pada hubungan kekerabatan mamak dan kemenakan, keteguhan dalam menjalankan prinsip hidup sebagai masyarakat Minangkabau, dan kekompakan masyarakat Minangkabau.

***

Rumah Gadang Minangkabau yang lahir dari filosofi alam dan falasafah hidup alam takambang jadi guru menunjukkan keterikatan yang tidak dapat dipisahkan. Falsafah ini bukan hanya sebuah falsafah tetapi suatu hal yang nyata ada di masayarakat Minangkabau. Hal ini juga didukung adanya kehadiran rumah gadang yang didukung adanya kondisi alam yang indah pada pematang sawah, peternakan, budi daya perikanan di kolam-kolam. Selain itu, situasi alam yang berbukit-bukit, lembah, ngarai, aliran air yang tiada henti memberikan cerminan masyarakat Minangkabau yang sangat dekat dengan alam.

Keindahan dan kemegahan bangunan Rumah Gadang Minangkabau pun tidak dapat dilepaskan dari arsitektur pertama rumah adat Minangkabau, yaitu seorang Cerdik Pandai Minangkabau yang bernama Datuk Tan Tejo Gerhano. Datuk Tan tejo Gerhano dimakamkan di Kabupaten Tanah Datar dan makamnya dikenal dengan kuburan panjang yang memiliki keunikan. Diceritakan setiap kali diukur panjang makamnya berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun