Mohon tunggu...
Yosi Prastiwi
Yosi Prastiwi Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Hobi nulis

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Serenteng Kopi Biasa

9 Agustus 2023   08:26 Diperbarui: 9 Agustus 2023   08:34 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin Jumat pak Zikri singgah. Sore bakda ashar saat matahari sedang turun di sisi barat Banyumas. Aku dan anak-anak berbincang ringan di beranda saat laki-laki itu tiba. Novel Sherlock Holmes terbuka sampai halaman 127 di pangkuanku ketika aku beranjak menyambutnya.

"Eh, ada Gojek." Mulanya Ammar berseru takjub.


Keempat adiknya spontan melihat ke arah pengendara motor berhelm dan jaket hijau yang bermotor ke arah kami. Enam bulan terakhir hampir tak pernah gojek melintas depan rumah. Sekampung itu tempat tinggal kami saat ini.

"Abiii..!" Salah seorang anak tiba-tiba berseru mengenali sosok di belakang pengendara motor.

Yang lain bersahutan memanggil bapak mereka. Berebut menyalami tangan kokohnya, memeluk sekadarnya lalu sibuk membongkar tas jinjing berisi oleh-oleh.

Sekotak Beng-Beng, biskuit Oreo, snack ringan dan sebotol air mineral berpindah posisi ke tangan anak-anak. Dipo menemukan dua minuman kopi botolan. Pak Zikri menggelengkan kepala. Melarang Dipo mengambilnya.

"Itu bekal Abi nanti malam." Katanya singkat.

Anak-anak bertanya kemana bapak mereka pergi lagi. Laki-laki itu memang hanya singgah beberapa jam. Mengistirahatkan jiwa sekejap sebelum melanjutkan perjalanan kereta ke arah barat.

Diantara keriuhan anak-anak, pak Zikri meraih sesuatu dari dalam ransel. Serenteng kopi Torabbika Cappucino yang harga ecer dua ribuan. Upeti yang beberapa tahun terakhir ia persembahkan demi senyum, ucapan terimakasih dan kadang bonus pelukan tak tahu malu di depan anak-anak.

"Makasih, Abi." Laki-laki itu tersenyum lebar mendengarku.

Perjalanan kami bersama kopi cukup lama. Sepanjang usia pernikahan. Aku berharap kopi, gula, perisa dan aneka tambahan makanan ini tidak akan menyusahkan kesehatan kami di masa depan.

Tapi selalu kuingat episode awal kami hidup bersama. Aku berani minum kopi hanya saat pak Zikri keluar rumah. Kucing-kucingan. Pernah simpanan kopiku ia berikan pada karyawan travel dulu. Lain waktu ia bawa ke kantor. Ia seruput panas-panas sampai tandas. Atau ia sembunyikan di antara tumpukan barang bekas sampai ia sendiri lupa. Besok-besok kutemukan waktu serbuk kopinya sudah padat tak layak seduh.

Karenanya hari-hari ini aku selalu berterima kasih setiap menerima kopi darinya. Kami berproses. Saling beradaptasi. Salah satunya menerima apa yang pasangan sukai pada perkara mubah.

Tahun-tahun belakangan, ia mengijinkanku minum kopi secara legal dan halal. Membelikan serenteng sekaligus saat luang. Memberikannya sebagai hadiah saat suasana hatiku buruk. Menjadikan kopi sebagai pemberat ucapan maaf dan terima kasih di lain waktu.

Mungkin itu semua ia lakukan sebab lelah menasehatiku yang keras kepala. Ia mengambil pilihan mengalah untuk mendapatkan hatiku. Aku menerimanya sebagai keridaan suami. Salah satu kasih sayang dalam bentuk benda.

Apapun itu, serenteng kopi ini turut membantu bertahan dan sesekali memperbaiki siklus hubungan yang naik turun sampai hari ini.

***

Bismillah, duta kopi torabbika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun