Tapi selalu kuingat episode awal kami hidup bersama. Aku berani minum kopi hanya saat pak Zikri keluar rumah. Kucing-kucingan. Pernah simpanan kopiku ia berikan pada karyawan travel dulu. Lain waktu ia bawa ke kantor. Ia seruput panas-panas sampai tandas. Atau ia sembunyikan di antara tumpukan barang bekas sampai ia sendiri lupa. Besok-besok kutemukan waktu serbuk kopinya sudah padat tak layak seduh.
Karenanya hari-hari ini aku selalu berterima kasih setiap menerima kopi darinya. Kami berproses. Saling beradaptasi. Salah satunya menerima apa yang pasangan sukai pada perkara mubah.
Tahun-tahun belakangan, ia mengijinkanku minum kopi secara legal dan halal. Membelikan serenteng sekaligus saat luang. Memberikannya sebagai hadiah saat suasana hatiku buruk. Menjadikan kopi sebagai pemberat ucapan maaf dan terima kasih di lain waktu.
Mungkin itu semua ia lakukan sebab lelah menasehatiku yang keras kepala. Ia mengambil pilihan mengalah untuk mendapatkan hatiku. Aku menerimanya sebagai keridaan suami. Salah satu kasih sayang dalam bentuk benda.
Apapun itu, serenteng kopi ini turut membantu bertahan dan sesekali memperbaiki siklus hubungan yang naik turun sampai hari ini.
***
Bismillah, duta kopi torabbika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H