Dari ribuan hari yang kita lalui, berapa banyak yang kita jalani penuh kesadaran?
"Setengah kilo berapa, Mas?" Nenek di sampingku bertanya pada penjual ayam potong yang sibuk menimbang pesanan.
"Tujuh belas ribu, Nek." Penjual ayam cekatan memotong dada ayam menjadi beberapa bagian.
"Udah naik ya?" Nenek berkomentar cemas. Pekan lalu harga perkilonya masih tiga puluh ribu rupiah. Tiap Ramadan harga sembako dan bahan makanan naik. Apalagi jelang lebaran nanti.
Kulihat telapak tangan Nenek meremas dompet kecilnya. Kutebak dompet itu hadiah cenderamata pernikahan, terbaca ada nama kedua mempelai di bagian depannya.
"Cucuku datang dari Riau. Sekeluarga enam orang. Aku jadi pengin masak ayam walau sedikit." Nenek itu bercerita tanpa diminta. Ia tersenyum padaku dan seorang pelanggan lain di sisinya. Aku balas tersenyum. Meski tidak saling kenal, lazim para pembeli bertukar kabar dan cerita sambil bertransaksi jual beli.
"Kalau beli seperempat aja berapa, Mas?" Nenek itu bertanya lagi.Â
"Harus ditimbang dulu nanti, Nek. Seperempatnya pas atau lebih. Nanti ketahuan." Penjual ayam menunjuk timbangan digitalnya.
Aku paham maksud si penjual. Beberapa kali aku menemui pelanggan yang tangannya nggratil. Menghargai ayam seenaknya atau mencomot barang satu dua potong bagian ayam. Memasukan sekenanya kepala atau kulit ayam dengan alasan minta bonus sebelum diiyakan penjual ayam. Sungguh tak beradab. Wajar penjual ayam menyampaikan demikian.
"Berati seperempat delapan ribu ya. Mungkin bisa ku masak campuran sup." Nenek bergumam sendiri. Aku mengangguk-anggukan kepala menanggapi Nenek. Sup ayam dengan wortel dan kentang adalah pilihan bijak saat jumlah daging terbatas.
Penjual ayam selesai menimbang pesananku. Kubayar dengan uang pas, tujuh belas ribu rupiah. Tinggal itu yang tersisa di kantongku. Setengah kilo dada ayam ini hendak kuolah jadi tongseng ayam. Â Anak-anakku amat menyukainya. Kemarin aku berjanji memasak ayam jika mereka berhasil menyelesaikan puasa ramadan hari ini.
Kuraih kantong ayam dari tangan penjual sambil mengucapkan terimakasih.
"Seperempat aja deh, Â Mas." Sempat kudengar suara Nenek memutuskan berapa banyak ayam yang dibelinya. Terdengar helaan napas panjang dan berat dari pergerakan bahunya.
Entah kenapa aku tak segera beranjak dari tempat penjual ayam. Kakiku seolah terpaku. Separuh hatiku tak mengijinkanku pergi.
"Nek, ini buat cucunya saja." Tiba-tiba saja tanganku sudah terulur ke depan.Â
Aku lupa soal janjiku pada anak-anak. Aku justru ingat ibuku di kampung sana yang amat jarang memasak ayam. Malas makan sendirian, katanya. Biar saja ayam-ayam di kandang itu ibu siapkan untuk cucu saat mudik nanti. Begitu ibu beralasan.
Aku mendadak disergap rindu. Sudah tiga kali lebaran aku tak mudik. Mas Hasan, suamiku di-PHK sejak pandemi. Meski berkali-kali memasukan lamaran kerja, sampai sekarang mas Hasan belum memiliki pekerjaan tetap. Kami tak kunjung punya uang saku cukup untuk mudik ke kampung.
Nenek menatapku tak bergeming. Ia tersenyum. "Ndak usah Nduk. Itu anak-anakmu menunggu." Nenek melempar pandangannya ke sebelah.Â
Tiga anakku duduk berjajar di depan gang, setia menungguku belanja ayam. Sesekali kudengar mereka berseru mengomentari lalu lalang kendaraan.
Nenek berlalu dalam sekejap sebelum aku sempat menjawab. Aku mendadak ragu. Siapa yang lebih membutuhkan ayam ini. Aku atau nenek? Lamat-lamat kudengar suara anakku bungsu memanggil.
"Ayo pulang, Bu. Masak ayam!" Suaranya riang. Tangannya menyambutku yang masih bimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H