Penjual ayam selesai menimbang pesananku. Kubayar dengan uang pas, tujuh belas ribu rupiah. Tinggal itu yang tersisa di kantongku. Setengah kilo dada ayam ini hendak kuolah jadi tongseng ayam. Â Anak-anakku amat menyukainya. Kemarin aku berjanji memasak ayam jika mereka berhasil menyelesaikan puasa ramadan hari ini.
Kuraih kantong ayam dari tangan penjual sambil mengucapkan terimakasih.
"Seperempat aja deh, Â Mas." Sempat kudengar suara Nenek memutuskan berapa banyak ayam yang dibelinya. Terdengar helaan napas panjang dan berat dari pergerakan bahunya.
Entah kenapa aku tak segera beranjak dari tempat penjual ayam. Kakiku seolah terpaku. Separuh hatiku tak mengijinkanku pergi.
"Nek, ini buat cucunya saja." Tiba-tiba saja tanganku sudah terulur ke depan.Â
Aku lupa soal janjiku pada anak-anak. Aku justru ingat ibuku di kampung sana yang amat jarang memasak ayam. Malas makan sendirian, katanya. Biar saja ayam-ayam di kandang itu ibu siapkan untuk cucu saat mudik nanti. Begitu ibu beralasan.
Aku mendadak disergap rindu. Sudah tiga kali lebaran aku tak mudik. Mas Hasan, suamiku di-PHK sejak pandemi. Meski berkali-kali memasukan lamaran kerja, sampai sekarang mas Hasan belum memiliki pekerjaan tetap. Kami tak kunjung punya uang saku cukup untuk mudik ke kampung.
Nenek menatapku tak bergeming. Ia tersenyum. "Ndak usah Nduk. Itu anak-anakmu menunggu." Nenek melempar pandangannya ke sebelah.Â
Tiga anakku duduk berjajar di depan gang, setia menungguku belanja ayam. Sesekali kudengar mereka berseru mengomentari lalu lalang kendaraan.
Nenek berlalu dalam sekejap sebelum aku sempat menjawab. Aku mendadak ragu. Siapa yang lebih membutuhkan ayam ini. Aku atau nenek? Lamat-lamat kudengar suara anakku bungsu memanggil.
"Ayo pulang, Bu. Masak ayam!" Suaranya riang. Tangannya menyambutku yang masih bimbang.