Kemarin siang waktu jemput anak sekolah, aku melipir beli bensin eceran satu botol.
Ya emang ukurannya sebotol gitu kan. Kita enggak tahu isinya seliter atau mungkin lebih.
"Berapa, Mas?" tanyaku.
Ekspresi mas penjual bensinnya tuh kayak yang mikir kalo aku kudet banget.
"Sepuluh ribu." Dia jawab juga harganya.
Aku kasih duit lima ribuan dua lembar sambil curcol.
"Maaf ya Mas soalnya saya jarang beli bensin. Enggak paham harga. Khawatir udah naik."
Beneran deh. Beli bensin itu belum tentu sebulan sekali. Keluar rumah rutinnya cuma anter jemput sekolah yang lokasinya enggak sampe 2km dari rumah. Urusan isi bensin dan kehabisan bensin lebih sering dilakoni suami.
Sekalinya keluar ke Ghrahatama, Februari lalu aku kaget.
Pertama, antrian beli bensin di pom deket Amplaz warbiyasah.
Kedua, BBM jenis pertamax (udah) naik bulan itu.
Ketiga, pembeli ngisi bensin sendiri. Petugas yang tekan nominalnya, kita pegang tuas selangnya sendiri.
Sebagai orang yang super duper jarang beli bensin, aku kagok dengan sikon macam ini. Aku jadi inget isu pengurangan karyawan di beberapa tempat publik yang layanannya bisa diubah mandiri. Self service. Â
"Paling besok naiknya, Bu." Jawaban penjual bensin bikin aku kaget. Kelar sudah lamunanku.
"Hah? Besok ini?" Aku nanya sambil mikir.Â
Apa beli full tank aja ya. Tapi nanti enggak jadi jajan cilok. Ah, kalo BBM subsidi jenis pertalite ini naik, bisa-bisa mengubah anggaran belanja keluarga. Aku jadi enggak bisa membantu UMKM dengan jajan cilok, seblak, batagor dan kue apem di depan gang sana.
"Biasanya akhir bulan Bu kalo ada kenaikan harga. Mungkin tanggal 31." Si penjual seolah sedang meramal peta kenaikan BBM.
Aku ber-oooo panjang sambil mikir, bukannya Februari kemarin pemerintah baru naikin BBM ya?
Lah, ini kok udah mau naik lagi.
***