Cerita ini hadir setelah saya menikah. Barangkali ada manten anyar yang memiliki masalah yang sama. Bisa ditiru oleh istri pemula. Atau sebaliknya. Dijadikan pelajaran agar suami hati-hati pada tipu daya dunia, istri salah satunya. Ha ha ha.
Begini ceritanya.
Sepuluh tahun silam, Â saya menikah dengan modal perjodohan tanpa kenal dengan calon sebelumnya. Walaupun ada sesi tukar biodata dan silaturahim sebelum lamaran, tidak serta merta membuat hubungan kami dekat paska akad. Namanya juga baru kenal tentu banyak jaga imagenya.
Maunya begitu menikah, kami melakukan hal-hal uwu seperti yang ditampilkan banyak selebgram yang nikah muda di medsos. Jaman saya, Instagram belum hits. Kami adalah generasi Multiply dan Facebook yang tabu pamer foto-foto nikah sedemikian rupa. Tapi, bukankah fungsi lain medsos untuk pamer ya?
Suami saya-waktu itu, tipikal lempeng yang tak mau menampilkan romantisme pasangan di luar rumah. Kalau jalan bareng, dia akan melepas tangan saya kecuali saat menyeberang jalan. Minta disuapin makan saat di luar adalah hal mustahil.Â
Impian punya suami super romantis belum tercapai. Ada gap definisi romantis versi saya dan suami. Saya yang baru nikah berharap diperlakukan manis seperti di ftv. Suami yang  tidak punya pengalaman nggombal merasa itu semua berlebihan.
Lalu, menstruasi itu datang saat kami masih perlu banyak berkenalan.
Kram perut, sakit kepala dan mood yang buruk menerpa saya. Suami yang belum berpengalaman mendampingi penderita dismenore menunjukan empatinya sungguh-sungguh. Aih, senangnya diperhatikan.
Saya yang jebolan teater jaman SMA tiba-tiba punya ide konyol. Bagaimana dengan drama satu babak?
Saya memulai aksi dengan minta suami membelikan jamu kunyit asam botolan untuk meredakan nyeri perut.
Dilansir dari hellosehat, kunyit mengandung bahan aktif yang berfungsi meredakan nyeri dan anti radang. Begitu juga dengan asam jawa yang mengandung bahan aktif sebagai antiradang, antipiretik, dan penenang.
Kandungan kurkumin pada kunyit bekerja dengan mengurangi aliran masuk ion kalsium pada sel-sel epitel rahim dan mengurangi produksi prostaglandin, yaitu hormon yang menciptakan rasa sakit dan pembengkakan
Sakit saya sebenarnya tak seberapa. Istirahat satu dua hari, akan membaik. Minum jamu membantu cepat sembuh. Pada kasus ini, saya hanya ingin suami menunjukkan perhatiannya.
Setelah suami pergi, saya menyusun rencana. Saya memutari rumah kontrakan kecil kami. Bentuk bangunannya memang tidak simetris. Isinya hanya ruang tamu, sebuah kamar, dapur dan kamar mandi. Namun ada bunga terompet kuning di depan rumah yang mekar bergerombol. Â Yang membuat rumah ini secantik kastil. Paling tidak di depan mata saya.
Diantara ruang tamu ke kamar itulah ada lorong kecil tempat saya berencana memainkan drama. Begitu motor suami terdengar, saya menjatuhkan badan ke lantai. Pura-pura pingsan.
Jantung saya berdegup kencang saat suami mendekat.
"Ra?" Panggil suami. Saya diam saja. Kan lagi pingsan.
"Ra? Kamu enggak papa?" Suaranya terdengar cemas. Badannya mendekat meraih saya yang tergeletak.
Oh Tuhan, saya ingin tertawa.
Biarpun mata sudah terpejam, hati tidak bisa dikondisikan. Salut deh sama artis yang pandai berakting.
Cita-cita uwu saya sebenarnya hampir terwujud: digendong pasangan halal. Meski kali ini dalam mode pingsan.
Namun, lihatlah. Suami saya kebingungan memposisikan diri. Saya menyesal salah memilih lokasi pingsan. Lorong ini terlalu sempit untuk evakuasi dan dilewati dua tubuh sekaligus.
Saat ia mencoba mengangkat tubuh saya-yang setengah mati saya kondisikan lemas dan pasrah agar tak dicurigai, mata saya justru ingkar.
Mata saya mengintip setengah terbuka. Sungguh sebuah kesalahan. Mata kami berpandangan sejenak. Wajah suami terlihat ragu. Makin susahlah saya menahan tawa dan akting.
"Kamu enggak papa?" Semacam itulah kalimat pertanyannya yang muncul setelah saya mengintip.
Melihat peluang digendong makin kecil dan sepertinya akan berubah jadi diseret, saya putuskan mengubah akting jadi mode sadar.
Perlahan, suami menuntun saya ke kamar. Saya merutuki ide konyol barusan sambil minum jamu. Untungnya, suami tak berkomentar apapun soal adegan pingsan tadi.Â
Kegagalan akting ini membuat saya insaf dari pura-pura sakit akibat menstruasi. Â Bagaimana kalau nanti sakitnya sampai pingsan betulan? Tentu akan repot sendiri.
Toh di tahun-tahun selanjutnya, cita-cita saya soal digendong terwujud tanpa drama begini.
Bertahun menikah, definisi romantis saya juga mengalami perubahan. Saat sakit akibat menstruasi tak butuh acara gendong menggendong. Cukup suami siaga membeli jamu gendongan di depan gang dan tanggap belanja pembalut.
Meski untuk poin pembalut ini, saya tak cukup hanya menyebut merk pembalut dan spesifikasinya. Variasi pembalut untuk malam, atau siang. Bersayap atau tidak. Pilihan itu sedikit merepotkan ingatan suami. Lebih afdol jika saya mengirim skrinsyut gambar pembalut yang saya inginkan. Dan simsalabim, suami berhasil membelinya tanpa drama salah beli.Â
Suami lain, penuh drama enggak saat istri menstruasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H