Namun, lihatlah. Suami saya kebingungan memposisikan diri. Saya menyesal salah memilih lokasi pingsan. Lorong ini terlalu sempit untuk evakuasi dan dilewati dua tubuh sekaligus.
Saat ia mencoba mengangkat tubuh saya-yang setengah mati saya kondisikan lemas dan pasrah agar tak dicurigai, mata saya justru ingkar.
Mata saya mengintip setengah terbuka. Sungguh sebuah kesalahan. Mata kami berpandangan sejenak. Wajah suami terlihat ragu. Makin susahlah saya menahan tawa dan akting.
"Kamu enggak papa?" Semacam itulah kalimat pertanyannya yang muncul setelah saya mengintip.
Melihat peluang digendong makin kecil dan sepertinya akan berubah jadi diseret, saya putuskan mengubah akting jadi mode sadar.
Perlahan, suami menuntun saya ke kamar. Saya merutuki ide konyol barusan sambil minum jamu. Untungnya, suami tak berkomentar apapun soal adegan pingsan tadi.Â
Kegagalan akting ini membuat saya insaf dari pura-pura sakit akibat menstruasi. Â Bagaimana kalau nanti sakitnya sampai pingsan betulan? Tentu akan repot sendiri.
Toh di tahun-tahun selanjutnya, cita-cita saya soal digendong terwujud tanpa drama begini.
Bertahun menikah, definisi romantis saya juga mengalami perubahan. Saat sakit akibat menstruasi tak butuh acara gendong menggendong. Cukup suami siaga membeli jamu gendongan di depan gang dan tanggap belanja pembalut.
Meski untuk poin pembalut ini, saya tak cukup hanya menyebut merk pembalut dan spesifikasinya. Variasi pembalut untuk malam, atau siang. Bersayap atau tidak. Pilihan itu sedikit merepotkan ingatan suami. Lebih afdol jika saya mengirim skrinsyut gambar pembalut yang saya inginkan. Dan simsalabim, suami berhasil membelinya tanpa drama salah beli.Â
Suami lain, penuh drama enggak saat istri menstruasi?