Tentu saja efek ringan seperti demam, nyeri, ngilu pada bekas suntikan. Kalau efeknya berat dan banyak, tidak mungkin program ini dijalankan pemerintah. Gila apa pemerintah menghabisi warganya sendiri?Â
Awaludin sebagai individu dengan fobia jarum, memberanikan diri disuntik demi mendapatkan manfaat vaksin. Sebagai warga negara yang bekerja di instansi medis, ia ingin memperlihatkan pada masyarakat bahwa vaksin ini aman. Pendek kata kesadaran bervaksin sudah merasuki Trypanopobhia.Â
Kalau yang fobia saja sanggup divaksin, apa kabar tim enggan vaksin? Misal mereka yang menolak sebab tidak percaya dengan keamanan kandungan vaksin. Golongan kontra ini mungkin perlu menyusun ulang alasan mereka secara haqiqi. Sebab alasan logis dan halu sudah tertolak.Â
Sudah untung negara memfasilitasi program vaksinasi covid-19 ini. Gratis, meski jumlahnya masih sangat terbatas. Program vaksin ini sudah masuk tahap kedua.
Pejabat dan tenaga medis jadi prioritas. Artis dan presiden sudah mengendorse keampuhan vaksin ini. Buktinya, Raffi Ahmad baik-baik saja meski berpesta setelah divaksin. Beda kondisinya dengan bupati Sleman, Sri Purnomo yang berstatus OTG paska divaksin Sinovac tahap pertama.Â
Pakar berpendapat, vaksin perlu waktu membentuk kekebalan di dalam tubuh. Bukan sim salabim main sulap. Bukan pula setelah divaksin seseorang otomatis terhindar dari covid-19.Â
Tinggal kita yang rakyat jelata dan bukan siapa-siapa menunggu program vaksin selanjutnya. Barangkali efektif dan ada perpanjangan kuota gratis. Masa iya herd immunity yang digadang secara nasional cukup dengan 3 juta vaksin gratis saja.Â
Tapi, jika ada yang menolak vaksin sebab tak percaya dengan kandungan vaksin sebab gratisan, boleh saja mereka menunggu vaksin covid-19 versi berbayar. Para marketer bilang, ada harga ada rupa.Â
Asal jangan protes aja,
"Ta-tapi, vaksinnya kok mbayar. Ini kan demi kepentingan nasional."
Jadi, kamu maunya apa Bambang? Dikasih gratis enggak percaya. Disuruh bayar protes soal harga. Â Fix, kamu bukan Trypanophobia tapi Duitpobia!Â