Dear Abang Ganteng,
Kuharap Abang tidak melupakan percakapan kita tempo hari soal ini. Sebab itulah aku menuliskan surat ini untuk Abang, lelaki yang gantengnya nomor dua di hatiku. Harap bersabar Bang, sudah ada yang mengisi peringkat satu. Akan ku ceritakan di akhir surat siapa orangnya.Â
Abang ingat kan pertanyaanku kemarin. Saat aku tanya soal hotel DSenopati Malioboro itu.
"Abang tahu hotel DSenopati?"Â
Agak ragu Abang mengangguk.Â
"Emangnya di Prawirodirjan?" Aku baru follow Instagram hotel ini sebetulnya. Melihat-lihat postingannya.
"Iya. Kamu lupa lokasinya?" Mungkin Abang pikir ingatanku serupa file dalam laptop yang mudah ditemukan melalui kolom pencarian.Â
"Yang mana sih?" Ingatanku soal lokasi kadang payah.
Aku membuka aplikasi Google Maps dan ber-o panjang. Ternyata letaknya di jalan Panembahan Senopati nomor 40. Strategis dan dekat dengan pusat kota Jogja. Tak jauh dari Taman Pintar, Pasar Beringharjo, Malioboro, Titik Nol Kilometer, Alun-alun Jogja, Keraton, Masjid Kauman dan pelbagai wisata di kota.Â
"Aku mau ikut event KJOG Bang. Kompasiana Jogja mengadakan lomba nulis surat kasih untuk yang tercinta. Hotel Dsenopati ini sponsornya." Aku melanjutkan.
"Hadiahnya staycation di hotel Dsenopati. Anak-anak bisa berenang di sana." Aku berbisik padamu. Khawatir anak-anak kadung dengar kosakata 'staycation' dan 'berenang' lalu menagihnya macam rentenir panci harian. Nanti ya Nak, tunggu ibumu menang dulu.
Abang pagi itu hanya mengangkat bahu. Mungkin pasrah kukirimi surat berkali-kali sepanjang kita menikah. Minimal setiap anniversary, Abang mendapat hadiah surat. Lain waktu saat kesal dan tidak mampu berbicara, aku pilih menulis. Kubacakan saat sudah tidak marah sambil menertawakan situasi.
Event kali ini special Bang. Mana mungkin aku melewatkannya Bang. Hotel Dsenopati ini terletak di Prawirodirjan. Salah satu kelurahan kenangan bagi kita. Mau kubantu Abang mengingat hari-hari kita di sana?
Abang tentu ingat, kita sempat tinggal di Prawirodirjan. Tepatnya di kawasan gang padat penduduk di pinggir kali Code. Beragam profesi dan wajah manusia ada di sana.Â
Saat itu kita hanyalah pengantin muda yang tidak tahu harus memulai rumah tangga darimana. Maklum, kita menikah lewat jalur konvensional. Kita dijodohkan senior setelah bertukar proposal nikah. Empat bulan setelah berkenalan, Abang menikahiku.
Aku ingat, Abang justru membawa laptop saat kita bulan madu.Â
"Kita bikin visi-misi keluarga dulu."Â
Alamak. Ternyata begini rasanya menikah dengan aktivis. Hidup mahasiswa!
Dulu, kak Aci yang mengantarkan kita ke kontrakan di Prawirodirjan. Dia berbaik hati membantu mencarikan kita tempat tinggal. Kak Aci juga menyewa satu bangunan kosong di depan kontrakan kita. Berencana membuat bimbingan belajar untuk anak-anak di sekitar kali Code. Kelak, bimbel itu kerepotan kita kelola. Kak Aci salah pilih orang. Menitipkannya pada kita, guru yang amatir.Â
Tentang rumah kontrakan pertama ini, aku langsung jatuh cinta pada lokasinya Bang. Ada gapura kecil tepat di samping rumah. Di atasnya, kembang terompet kuning bermekaran sempurna.Â
Harga sewa rumah itu cukup terjangkau bagi kantong Abang. Aku harus tahu diri. Kita sama-sama masih kuliah. Selain menghidupiku, Abang juga harus menggaji tiga karyawan dari usaha tour travel di Timoho sana.Â
Rumah kontrakan kita kecil Bang. Berisi satu kamar, satu ruang tamu, satu dapur yang tidak simetris dan kamar mandi. Sebelahnya jalan kecil yang ramai lalu lalang. Seberang jalan ada bengkel, warung makan dan kamar mandi umum. Amat penting kontrakan kita ini dekat dengan kamar mandi umum. Sebab rumah kita tanpa toilet. Kita bisa mandi di rumah tapi tidak urusan buang hajat. Itulah mengapa kamu tak memperpanjang kontrakan ini. Repot benar urusan toilet ini.
Memang sih kamar mandi umum ini bersih. Selalu bersih tiap aku menggunakannya. Ada sumur besar di tengah dua atau tiga pintu toilet. Tempatnya juga tertutup. Hampir setiap mulut gang, terdapat kamar mandi umum semacam ini. Dengan jarak rumah sekemruyuk ini tidak memungkinkan semua bangunan memiliki septic tank. Â
Tinggal di sini macam shock therapy. Kita yang terbiasa hidup dengan teori di kampus, tiba-tiba dihentakkan dengan fakta sosial di masyarakat yang jauh berbeda. Kita yang mengaku agent of change, mati kutu di hadapan tetangga. Hidup bermasyarakat tidak semudah mendapat nilai A pada mata kuliah Statistika.Â
Pernah aku bertanya dimana lokasi pembuangan sampah, tetangga kita menunjuk ke seberang.
"Buang aja di kali Mbak." Si ibu menunjuk kali Code.Â
Aku kaget. Tak berani aku protes pada ibu paruh baya itu. Sekadar bertanya alasannya buang sampah di sungaipun tak mampu keluar dari mulutku.Â
Aku memilih mendatangi pak RT. Mengikuti program iuran sampah lima belas ribu per bulan. Sampah kita diangkut setiap hari. Aku merasa sudah melakukan tindakan benar. Membuang sampah di tempatnya. Meski pada praktiknya, perilaku ini hanya memindah sampah ke TPS. Saat itu pola hidup minim sampah belum semasif sekarang. Â
Ah, Abang tentu ingat pula. Saat hujan deras, selokan depan rumah kita meluap. Aku melihat sebuah kasur lapuk tersangkut di gorong-gorong. Kukira ada yang kebanjiran, sampai kasur ikut berenang. Ternyata ini juga cara mereka membuang sampah.
Belum lagi saat aku memergoki dua anak kecil seusia sekolah dasar duduk di bawah jendela rumah kita Bang. Mereka asik bersandar sambil menonton video porno dari ponsel. Sungguh kaget aku Bang. Kuminta mereka mematikan video itu dan pergi dari sana. Badanku gemetar setelahnya. Aku menangis. Takut pada keamanan lingkungan dan khawatir dengan nasib anak-anak itu.Â
Kita juga menyaksikan Bang, seorang balita berusia empat tahun yang akrab dengan rokok di tangannya.Â
"Sehari bisa habis satu bungkus itu Mbak."Â
Aku sedih ketika Nenek si balita bercerita dengan bangga tentang kemampuan cucunya menghisap rokok.Â
Seseorang harus tinggal di sini. Bukan hanya mengedukasi masyarakatnya tapi juga membantu menyelesaikan banyak persoalan sosial ekonomi mereka. Sayangnya kita tak sanggup Bang. Kita memilih pergi setelah enam bulan.Â
Dengan segala pernak-perniknya, Prawirodirjan menjadi tempat pertama kali kita bermetamorfosis. Ternyata tak mudah menjadi bagian dari masyarakat. Abang bersosialisasi dengan jamaah masjid dekat rumah. Juga belajar terlibat dengan ikut kerja bakti lingkungan bersama bapak-bapak. Aku yang canggung, tak kunjung bergabung pada kumpulan ibu-ibu macam arisan.Â
Seorang ibu menghadiahkan rak piring bekas setelah melihat dapur kita yang kosong. Tetangga lain memberikan bakpao sisa jualannya yang tidak habis terjual. Anak-anak bimbel itu kerap mengetuk pintu rumah di luar jadwal belajar untuk sekedar bertamu dan bercerita. Tiga anak bahkan memberikan kenangan-kenangan pin dan bros jilbab sebelum kita pindah. Di antara kecemasan tinggal di sana, kita diterima dengan hangat.
Tinggal di pinggiran Prawirodirjan membuatku membuka mata. Realitas masyarakat kelas bawah di tengah kota Jogja yang tidak semanis Gudeg, makanan khas kota ini. Mungkin kondisinya lebih cocok disandingkan dengan legamnya kopi joss di angkringan dekat stasiun Tugu sana. Panas, pahit dan manis. Menyisakan aroma arang yang ringan.
Kapan-kapan, kita susuri lagi jalan belakang Jogjatronik itu Bang. Mungkin kalau staycation di hotel Dsenopati, kita bisa mengenang rute ini. Mengajak anak-anak menyaksikan sisi kehidupan yang berbeda dari keseharian mereka. Kita bisa melewati rumah kontrakan lama dan hiruk pikuknya. Menunjukkan pada mereka dimana kita memulai cerita.
Oh ya Bang, ada satu hal yang perlu kusampaikan padamu. Ini tentang sosok ganteng nomor satu di hatiku. Aku minta maaf belum bisa menempatkanmu di sana. Jauh sebelum takdir mempertemukan kita, posisi itu sudah diisi bapakku.Â
Lelaki tua itu mungkin tak ganteng-ganteng amat menurutmu. Namun bagiku, dialah yang tertampan. Seorang pakar psikologi pernah menyampaikan, penting bagi ayah menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya. Agar perempuan tak mudah menyerahkan hatinya pada sembarang lelaki.Â
Abang tak perlu khawatir, posisi kedua ini tak berati aku menduakanmu. Sebagai follower favoritmu, aku berdoa agar Tuhan memudahkan urusanku mematuhimu. Sebab engkau adalah suami. Diciptakan untuk mengasihi tulang rusuk bengkok ini.
Aku menulis surat ini sepenuh hati. Jatuh hati lagi saat mengingat perjalanan kita. Kuharap sampai pesan itu kepada Abang.Â
Begitulah rumah tangga. Kita jatuh hati dan patah hati pada orang yang sama. Berulang kali. Anak muda menyebutnya bucin. Orang Jogja bilang, kapokmu kapan? Hahaha.
Setulus hati,
Ra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI