Rumah kontrakan kita kecil Bang. Berisi satu kamar, satu ruang tamu, satu dapur yang tidak simetris dan kamar mandi. Sebelahnya jalan kecil yang ramai lalu lalang. Seberang jalan ada bengkel, warung makan dan kamar mandi umum. Amat penting kontrakan kita ini dekat dengan kamar mandi umum. Sebab rumah kita tanpa toilet. Kita bisa mandi di rumah tapi tidak urusan buang hajat. Itulah mengapa kamu tak memperpanjang kontrakan ini. Repot benar urusan toilet ini.
Memang sih kamar mandi umum ini bersih. Selalu bersih tiap aku menggunakannya. Ada sumur besar di tengah dua atau tiga pintu toilet. Tempatnya juga tertutup. Hampir setiap mulut gang, terdapat kamar mandi umum semacam ini. Dengan jarak rumah sekemruyuk ini tidak memungkinkan semua bangunan memiliki septic tank. Â
Tinggal di sini macam shock therapy. Kita yang terbiasa hidup dengan teori di kampus, tiba-tiba dihentakkan dengan fakta sosial di masyarakat yang jauh berbeda. Kita yang mengaku agent of change, mati kutu di hadapan tetangga. Hidup bermasyarakat tidak semudah mendapat nilai A pada mata kuliah Statistika.Â
Pernah aku bertanya dimana lokasi pembuangan sampah, tetangga kita menunjuk ke seberang.
"Buang aja di kali Mbak." Si ibu menunjuk kali Code.Â
Aku kaget. Tak berani aku protes pada ibu paruh baya itu. Sekadar bertanya alasannya buang sampah di sungaipun tak mampu keluar dari mulutku.Â
Aku memilih mendatangi pak RT. Mengikuti program iuran sampah lima belas ribu per bulan. Sampah kita diangkut setiap hari. Aku merasa sudah melakukan tindakan benar. Membuang sampah di tempatnya. Meski pada praktiknya, perilaku ini hanya memindah sampah ke TPS. Saat itu pola hidup minim sampah belum semasif sekarang. Â
Ah, Abang tentu ingat pula. Saat hujan deras, selokan depan rumah kita meluap. Aku melihat sebuah kasur lapuk tersangkut di gorong-gorong. Kukira ada yang kebanjiran, sampai kasur ikut berenang. Ternyata ini juga cara mereka membuang sampah.
Belum lagi saat aku memergoki dua anak kecil seusia sekolah dasar duduk di bawah jendela rumah kita Bang. Mereka asik bersandar sambil menonton video porno dari ponsel. Sungguh kaget aku Bang. Kuminta mereka mematikan video itu dan pergi dari sana. Badanku gemetar setelahnya. Aku menangis. Takut pada keamanan lingkungan dan khawatir dengan nasib anak-anak itu.Â
Kita juga menyaksikan Bang, seorang balita berusia empat tahun yang akrab dengan rokok di tangannya.Â
"Sehari bisa habis satu bungkus itu Mbak."Â