Aku sedih ketika Nenek si balita bercerita dengan bangga tentang kemampuan cucunya menghisap rokok.Â
Seseorang harus tinggal di sini. Bukan hanya mengedukasi masyarakatnya tapi juga membantu menyelesaikan banyak persoalan sosial ekonomi mereka. Sayangnya kita tak sanggup Bang. Kita memilih pergi setelah enam bulan.Â
Dengan segala pernak-perniknya, Prawirodirjan menjadi tempat pertama kali kita bermetamorfosis. Ternyata tak mudah menjadi bagian dari masyarakat. Abang bersosialisasi dengan jamaah masjid dekat rumah. Juga belajar terlibat dengan ikut kerja bakti lingkungan bersama bapak-bapak. Aku yang canggung, tak kunjung bergabung pada kumpulan ibu-ibu macam arisan.Â
Seorang ibu menghadiahkan rak piring bekas setelah melihat dapur kita yang kosong. Tetangga lain memberikan bakpao sisa jualannya yang tidak habis terjual. Anak-anak bimbel itu kerap mengetuk pintu rumah di luar jadwal belajar untuk sekedar bertamu dan bercerita. Tiga anak bahkan memberikan kenangan-kenangan pin dan bros jilbab sebelum kita pindah. Di antara kecemasan tinggal di sana, kita diterima dengan hangat.
Tinggal di pinggiran Prawirodirjan membuatku membuka mata. Realitas masyarakat kelas bawah di tengah kota Jogja yang tidak semanis Gudeg, makanan khas kota ini. Mungkin kondisinya lebih cocok disandingkan dengan legamnya kopi joss di angkringan dekat stasiun Tugu sana. Panas, pahit dan manis. Menyisakan aroma arang yang ringan.
Kapan-kapan, kita susuri lagi jalan belakang Jogjatronik itu Bang. Mungkin kalau staycation di hotel Dsenopati, kita bisa mengenang rute ini. Mengajak anak-anak menyaksikan sisi kehidupan yang berbeda dari keseharian mereka. Kita bisa melewati rumah kontrakan lama dan hiruk pikuknya. Menunjukkan pada mereka dimana kita memulai cerita.
Oh ya Bang, ada satu hal yang perlu kusampaikan padamu. Ini tentang sosok ganteng nomor satu di hatiku. Aku minta maaf belum bisa menempatkanmu di sana. Jauh sebelum takdir mempertemukan kita, posisi itu sudah diisi bapakku.Â
Lelaki tua itu mungkin tak ganteng-ganteng amat menurutmu. Namun bagiku, dialah yang tertampan. Seorang pakar psikologi pernah menyampaikan, penting bagi ayah menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya. Agar perempuan tak mudah menyerahkan hatinya pada sembarang lelaki.Â
Abang tak perlu khawatir, posisi kedua ini tak berati aku menduakanmu. Sebagai follower favoritmu, aku berdoa agar Tuhan memudahkan urusanku mematuhimu. Sebab engkau adalah suami. Diciptakan untuk mengasihi tulang rusuk bengkok ini.
Aku menulis surat ini sepenuh hati. Jatuh hati lagi saat mengingat perjalanan kita. Kuharap sampai pesan itu kepada Abang.Â