Memulai awal tahun dengan cerita fabel? Asyik benar sepertinya. Saya tertantang membuat cerita fabel versi dewasa. Sebab, fabel selama ini identik dengan anak-anak. Dijadikan dongeng dan dibacakan sebelum tidur.Â
Mau tahu bagaimana fabel versi saya? Silakan disimak ya.Â
***
"Ciit ciiit ciiiiit...." Nyaring suara Joni memperingatkanku. Terpaksa aku berhenti. Menengok ke arah Joni yang mengejarku. Langkahnya tak lagi gesit. Kalah oleh perut buncitnya.Â
"Apa lagi?" Tanyaku begitu ia menjajariku. Bau sampah menguar di sekeliling kami.Â
"Di sini saja. Lebih aman." Ia memintaku bertahan. "Aku akan mencarikanmu makanan setiap hari." Ucapnya setelah mengatur nafas. Suaranya terdengar serupa cicitan anak burung daripada seekor tikus besar.Â
Aku sempat berharap bisa melahirkan anak-anak tikus lucu bersamanya. Hidup nyaman di bawah selokan pasar dan berkemas tiap banjir. Itu dulu sebelum aku mengenal Kusi, tikus jantan dari kota.
"Jon, aku tak suka bau selokan. Aku benci kegelapan." Aku beralasan.
"Nei, sikapmu sungguh aneh. Kita itu tikus. Tak suka lampu terang." Joni mendengkus.Â
"Kamu sudah tua Jon. Tetaplah di gorong-gorong. Aku perlu tantangan di luar sana." Aku menepis mulutnya yang mendekat. Perpaduan bau nafasnya dan selokan membuatku mual.Â
Kuputuskan pergi. Tak kuhiraukan panggilannya. Aku kembali berlari menuju ujung lorong. Di bawah lampu pasar yang terang, Kusi menungguku.Â
Apa kubilang, kegelapan hanya milik tikus pecundang. Kusi berbeda dengan tikus kebanyakan. Tak sabar rasanya aku berpetualang keluar dengannya.Â
***
Sudah sepekan Kusi mengajakku jalan-jalan. Tentu saja bukan di pasar yang becek dan kotor. Kami mendapat sisa makanan dari perumahan dan pusat perbelanjaan. Ia bilang, aku perlu menaikan standar makananku. Mencoba cemilan yang tidak kutemui di selokan pasar sana.Â
Hebat memang Kusi. Ia berteman dengan banyak tikus. Tiap kami singgah, ada saja yang menyapanya. Sesekali ia pergi sendiri. Berbicara serius dengan tikus lain di luar sana.
"Jadi, hari ini kita kemana?" Tanyaku sambil mengusap sisa keju dari mulutku. Kusi tertawa melihat mulutku yang cemong. Katanya aku terlihat menggemaskan.Â
Kupikir keju hanya makanan ilusi. Hanya muncul di film Tom & Jerry yang ditonton Asep, anak juragan sayur di pojok pasar. Ternyata keju mudah ditemui di sini.Â
"Kita temui bosku hari ini." Kusi menepuk pantat hitamku.Â
"Kupikir kamu bosnya."
Dia tertawa terbahak-bahak. Menggelengkan kepalanya sambil lalu.Â
***
Aku terdiam di sekitar semak-semak depan pos penjaga. Dua orang manusia duduk di depan televisi. Hari sudah larut malam. Gedung yang kami tuju sudah sepi.Â
Kusi menunjuk jalan di samping ruang utama. Memintaku mengikutinya.Â
"Serius bosmu di sana?" Tanyaku ragu.Â
"Ayolah Nei, kamu tak akan menyesal." dia berlari mendahuluiku. Aku menimbang sejenak.
Kepalang basah. Aku berlari di belakang Kusi.Â
Langkahku terhenti di depan pintu yang separuh terbuka. Perasaanku tak karuan. Memasuki gedung ini saja sudah membuatku ragu. Kini kakiku sampai di depan pintu ruangan manusia.Â
Bagaimana jika ada orang di dalam sana? Bagaimana jika dia punya kucing? Atau anjing? Bagaimana jika ia memukulku dengan sapu?Â
Berbagai pertanyaan singgah di kepalaku.Â
"Ayo." Kusi mendorongku.
Cahaya di dalam ruangan tak sepenuhnya terang. Hanya lampu kerja yang benar-benar menyala. Seorang manusia tampak membaca buku. Wajahnya tak terlihat.Â
"Ciiiit ciiiit ciiit...." Aku mencicit panik ketakutan. Menyembunyikan diri di belakang hadiah yang dibawa Kusi.
"Kamu sudah pulang tikus?" Manusia itu bertanya. Kusi menjawab seperlunya.Â
"Kamu bawa teman baru?" Orang itu bertanya lagi. Aku gemetar mendengar namaku disebut Kusi. Kuangkat wajahku takut-takut.Â
Astaga. Â
Manusia itu berwajah tikus. Sama sepertiku. Hidungnya sedikit bengkok dan bergerak mengendus-endus. Mengingatkanku pada hidung Joni yang malang. Lihatlah, dia bahkan punya ekor panjang di belakang jas mahalnya.Â
"Di-dia, tikus?" Aku berbisik pada Kusi.Â
"Ha ha ha, dia lebih tikus daripada kita." Kusi menjawab sambil tertawa.Â
Manusia itu mengucapkan selamat datang. Berbasa basi soal cuaca ibukota belakangan. Ia bahkan mengenalkan namanya dengan sopan. Apa ini pembicaraan yang normal antara manusia dan tikus?
Tunggu, sepertinya aku pernah mendengar nama yang manusia sebutkan tadi. Mungkin di televisi belakangan ini. Bukankah ia pejabat yang korupsi belum lama ini?Â
Anehnya badanku tak lagi gemetar. Rasanya aman. Apa karena aku bertemu tikus?Â
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI