Bulan Desember ini, seorang tamu istimewa berkunjung ke rumah kami. Simbah Bin, kami memanggilnya. Perempuan tua dengan empat anak dan tujuh cucu ini masih terlihat bugar di usia enam puluhan.
Dia datang mengenakan baju terusan berwarna hijau dengan motif batik coklat susu. Ini baju istimewa. Kami membuatnya sarimbitan di pernikahan adikku, enam tahun lalu.
Sebuah kerudung coklat menutupi kepala dan ubannya. Tangan tuanya mengangsurkan kardus berisi oleh-oleh sambil berkata, "Oalah Yosi, kamu keliatan capek banget."
Aku meringis. Ia bahkan tak terlihat lelah setelah menempuh lima jam perjalanan darat. Aku keburu bercerita soal demam si bayi yang belum turun. Juga payudara yang bengkak sebab bayiku menolak menyusu. Lalu menepuk dahi lima menit kemudian. Kopi hitam favorit simbah Bin yang belum kuaduk. Perempuan tua ini menyukai kopi. Sekali ia minum di pagi hari, lain waktu saat petang. Ia ibuku. Nenek dari empat anak-anakku.
Kunjungannya selalu menyenangkan dan menegangkan. Sebab ia tak sungkan melakukan sidak kebersihan rumah dan dapur. Kerapihan kamar dan almari baju. Tentu saja selain membawakan kami aneka kue, satu sisir pisang dan emping dalam kardus yang diikat rafia.
Setelah empat hari bermalam, simbah Bin memutuskan pulang. Anak-anakku memintanya menginap lebih lama. Tapi Ibuku menjelaskan, orderan kue di kampung sudah menunggu.
Ibu pensiunan pegawai balai latihan kerja. Ia lebih banyak dinas di dapur dari kecamatan ke kecamatan satu provinsi. Puluhan tahun mengisi pelatihan pengolahan hasil pertanian. Aneka kue basah, jajan pasar, kue kering, bolu dan cake mahir dibuatnya. Setelah pensiun, ia melipir ke kampung kecil di Banyumas dan menerima pesanan snack box.
Empat hari tentu waktu yang sebentar bagiku. Tapi ia sudah banyak menciptakan keajaiban di rumah. Ia bersikeras menggendong bayiku yang demam tiga hari berturut-turut. Menurutnya, menggendong adalah cara terbaik menyembuhkan demam. Baiklah, bayiku memang sembuh tanpa obat.
Ia juga merapikan dapurku setelah sebelumnya bertanya kapan terakhir kali aku menyentuhnya. Aku beralasan soal bayi yang sakit dan tiga kakak si bayi yang selalu merongrongku sehingga dapurku berantakan.
Ibu memanggilku Oshin, salah satu tokoh film Jepang yang hidupnya menderita dalam keluarga. Aku tentu saja menolaknya. Aku tak sesusah itu. Tapi dia mengabaikanku dan menyisihkan dua buntalan plastik sampah hitam. Hasil kerja kerasnya di dapur.
Hari terakhir di Jogja, aku mengantarkannya ke salah satu toko bahan kue di jalan Kaliurang. Ia bahagia mengelilingi rak dan memilih bahan. Di kampung, Ibu harus belanja perlengkapan di kota untuk mendapatkan bahan kue yang lengkap.
Kepulangannya akhirnya tiba. Aku membantunya merapikan barang-barang dan memasukan pakaiannya.
"Yos, kerudung coklat Ibu mana ya?" Ibu bertanya padaku. Aku berputar ke sekeliling rumah dan tak menemukannya. Itu kerudung coklat yang sama yang ia pakai saat sampai di sini.
"Itu kerudung kesukaan Ibu. Enak dipakai." Ucapnya beralasan. Kami berdua mencarinya lagi. Tapi tetap tak menemukannya.
Aku membongkar almari dan menemukan satu kerudung baru berwarna ungu. Kuberikan pada Ibu sebagai ganti kerudung coklat yang belum ketemu.
"Bagus kok." Ibu berkaca di depan.
"Tapi nanti kalau kerudung coklatnya udah ketemu, tolong dikirim ya." Ia mewanti-wanti saat pamit.
Heran, barang lama selalu begitu. Kita kadung menyukainya meski membosankan. Kerudung coklat ini memang tidak digunakan Ibu ke hajatan atau acara semacamnya. Ini jenis pakaian ringgo kata ibu, kering dienggo. Begitu kering dari jemuran, langsung dikenakan lagi. Tidak perlu disetrika. Bahannya tidak gampang kusut. Nyaman dikenakan di seputar rumah menemani aktivitas hari-hari Ibu.
Ketika esoknya aku menemukan kerudung coklat Ibu, aku langsung mengirim pesan padanya. Kerudung ini kutemukan di dalam pot hitam besar yang aku simpan di bawah meja teras. Pot ini kubeli sejak awal pandemi. Masih awet sampai hari ini belum kugunakan. Entah bagaimana ceritanya kerudung ini bisa ngumpet di situ.
Aku memutuskan mengirim kerudung ini melalui jasa pengiriman JNE. Ekspedisi ini sudah lama kugunakan. Sejak kami menjual barang-barang secara online di tahun 2015, JNE menjadi salah satu patner terbaik kami.
Ketika ekspedisi ini membuka layanan JTR atau JNE Truk, kami salah satu pelanggannya. Dengan minimal berat 10kg, kami biasa menggunakan layanan ini untuk pengiriman kargo ke agen kami di kota-kota besar seputar Jawa, Bali dan Sumatera.
Selain harganya kompetitif, pengirimannya juga relatif cepat. Waktu normal yang dibutuhkan hanya 2-3 hari dari suplier kami di Depok, Jawa Barat mengantarkan barang ke rumah di Sleman, DIY.
Saat orderan kami ramai, agen JNE dekat rumah menawarkan layanan pick up. Ini sungguh memudahkan. Hampir lima tahun bekerja sama, JNE selalu memberi kepuasaan bagi kami para pelanggan.
Aku pergi ke kantor agen JNE Condongcatur di dekat rumah. Di depan kaca, ada peringatan agar mengenakan masker. Ini pandemi dan kita musti beradaptasi dengan kebiasaan baik baru.
"Mau pake OKE atau Reguler Mbak?" customer service di depanku bertanya ramah. JNE memiliki layanan pengiriman paket standar OKE (ekonomis), Reguler dan YES (yakin esok sampai). Layanan YES ini hanya berlaku untuk kota besar. Kampung Ibu tidak termasuk. Aku memilih reguler dan membayar biaya lima belas ribu rupiah.
JNE juga mencetak resi dengan barcode yang mudah dilacak. Baik melalui website JNE di www.jne.co.id maupun website dan aplikasi cek ongkir lainnya.
Jika ada paket yang berhenti saat ditracking, agen mau membantu kami mengkroscek kondisi paket dan menyelesaikan masalah. Tak lama biasanya paket segera sampai. Kemudahan pelanggan mengakses layanan menjadi salah satu poin positif yang membuat kami betah langganan menggunakan ekspedisi ini.
Untuk pengiriman barang berharga, JNE merekomendasikan pengiriman menggunakan kayu dan asuransi. Saat berjualan handphone di tahun 2016, JNE menjadi satu-satunya ekspedisi yang kami percaya. Tak heran, hari ini aku memilih ekspedisi ini pula untuk mengirim kerudung coklat Ibu.
Paket yang kukirimkan 28 Desember kemarin, sampai di tangan Ibu tanggal 30 Desember. Ibu senang kerudung coklatnya sampai seketika. Ia berbaik hati mengirimkan gambar bersama kurir JNE yang mengantar paket ke rumah.
Terimakasih JNE. Tagline connecting happiness kurasakan benar saat ini. Mengirim paket memang perkara layanan tapi kisah selembar kerudung coklat ini akan menjadi kenangan baik. JNE membantu mewujudkan kebahagiaan Ibuku. Ini hal kecil, namun berarti bagiku.
Itulah kenapa JNE bukan hanya bicara bisnis layanan. Menurut Feriadi Soeprapto, Presiden Direktur JNE, tagline Connecting Happiness berarti mengantarkan kebahagiaan.
“Maknanya luas, sehingga jika bicara tentang JNE, maka bukan hanya tentang pengiriman paket, namun dalam berbagai aspek di setiap kehidupan masyarakat. Hal ini karena empat sektor, yaitu SDM, infrastruktur, teknologi informasi, dan lingkungan sekitar, menjadi perhatian utama perusahaan,” ujarnya.
Amat mudah kita temui jejak digital JNE berbagi dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin di lingkungannya. Di banyak kesempatan tahunan maupun pandemi ini. Dipadukan dengan layanan prima, kepedulian ini menjadi spirit yang membuat JNE layak dijadikan ekspedisi pilihan terbaik.
Sudah ratusan kali, aku mengirim paket bersama JNE, bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H