Alih-alih mengedukasi anak-anak soal manfaat makan ayam dan kandungan gizinya, saya lebih sering mengumandangkan aturan pembatasan konsumsi ayam harian di rumah.
Pasalnya olahan ayam jenis apapun- selama tidak pedas- selalu diterima dengan baik oleh lidah dan perut anak-anak. Tapi tidak demikian dengan kami orangtuanya.
Wisata kuliner Jogja mengalami perkembangan sepuluh tahun terakhir. Amat berbeda jika dibandingkan awal tahun 2000an semasa saya kuliah. Bagi mahasiswa proleter macam saya, kuliner Jogja terdiri dari angkringan, burjo, dan penyetan. Ini belum termasuk warung nasi bungkus ramesan yang jumlahnya sepadan dengan jumlah kos-kosan.
Kala itu, saya makan hanya untuk bertahan hidup. Puasa Senin-Kamis adalah wujud penghematan hakiki dan perjalanan menuju keshalihan pribadi. Nongkrong di tempat makan bukan tindakan bijak bagi generasi saya.
Selain perkara kantong, mahasiswa baru mana berani nongkrong di luar. Sekadar warung makan sekalipun. Serba malu kalau ketemu anak laki-laki. Opsi paling sering adalah beli makanan-bungkus-bawa pulang-makan di kos.Â
Satu-satunya tempat makan yang bisa saya tunggui lama-lama adalah angkringan Ponorogo. Mereka menjual pecel di samping masjid Al Falah di gang guru. Itupun sebab mereka menyediakan televisi maka kami nongkrong. Alangkah jadulnya.
Diantara kenangan kuliner selama kuliah di Jogja, gudeg menjadi salah satu makanan istimewa bagi mahasiswa. Meski demikian, mahasiswa luar Jogja perlu beradaptasi dengan rasa gudeg yang didominasi manis. Sampai-sampai teman saya dari luar Jawa menyebut gudeg sebagai kolak. How come?
Hari ini mungkin tren kuliner para mahasiswanya bergeser. Kafe, kopi, dan space working menjadi kebutuhan mereka eksis, belajar, dan bekerja. Tapi, Anda musti percaya mantra ini: tren kuliner boleh berganti tapi, gudeg tetap menjadi salah satu makanan wajib bagi mahasiswa. Minimal sekali mencobanya seumur hidup.
Gudeg amat mudah ditemui di Jogja. Hampir di tiap sudut jalan ada penjual gudeg. Beberapa bahkan melegenda sebagai tujuan wisata kuliner khas kota ini. Belum ke Jogja kalau Anda tidak menyempatkan mencicipi gudeg.
Gudeg merujuk pada sayur nangka muda yang dimasak lama sampai lunak dan berwarna kecoklatan. Warna coklat ini berasal pewarna makanan alami berupa dari daun jati sehingga menimbulkan aroma khas.