Mohon tunggu...
Yosi Prastiwi
Yosi Prastiwi Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Hobi nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Istri Berpenghasilan Tinggi, Siapa yang Diuntungkan?

12 Desember 2020   16:33 Diperbarui: 29 April 2021   10:31 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di antara pro-kontra istri bergaji tinggi daripada suami, hari ini kita berada di situasi abnormal. Masih bekerja saja sudah beruntung. Tak peduli suami atau istri. Asal keluarga utuh dan tercukupi kebutuhannya."

Saya pernah bertanya pada seorang kawan, alasannya memutuskan di rumah saja setelah menikah. Padahal peluang karirnya bagus. Pekerjaannya tidak terlalu berat. Gajinya tinggi, dibanding gaji suaminya saat itu.

"Aku khawatir tidak bisa menghargainya sebagai suami jika gajiku lebih tinggi." Jawabnya jujur.

Bisa jadi jawaban ini terlalu mengada-ada bagi sebagian orang. Apa salahnya berpenghasilan besar? Soal sikap pada suami, mestinya istri punya pedoman. Gaji tinggi maupun rendah, sikapnya mestinya satu. 

Nilai moral setempat dan tuntunan agama mengatur bagaimana kedudukan pasangan suami istri. Apa benar gaji tinggi mampu mengubah value itu?

Di luar alasan pengasuhan anak, nyatanya banyak perempuan yang memutuskan berhenti berkarir di luar demi menjaga ego suami. 

Memilih mencukupkan nafkah dari satu pintu. Berpendapat bab rejeki setelah menikah artinya digabung berdua. Pada pilihan ini, istri mengalah dan menjaga harga diri suami. Meminimalisir konflik dari perbedaan penghasilan.

Istri semacam ini tentu tak berpedoman pada slogan, ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. 

Bagi mereka menjadi istri adalah salah satu bentuk pengabdian pada Tuhannya. Ini tidak menjadi masalah ketika suami bertindak selaras. Mencukupi kebutuhan ekonomi dan batin dengan seimbang.

Baca: Wanita Karir, Interpretasi Perempuan Modern Masa Kini?

Di sisi lain, saya menemukan banyak istri yang dituntut terus bekerja oleh suaminya. Alasannya untuk membantu kebutuhan finansial keluarga. 

Biaya hidup dan sekolah anak-anak ke depan semakin meningkat. Jika suami-istri sama-sama bekerja, tentu lebih ringan dijinjing cicilan dan tagihan bulanan.

Sayangnya, definisi membantu ini dimanfaatkan oknum suami untuk menjadikan istri sapi perahan. Suami seperti ini justru berleha-leha dalam bekerja. 

Miskin harta, miskin inisiatif, gengsi tinggi, pilah pilih pekerjaan dan mengandalkan gaji istri semata. Kejamnya, mereka tak tahu diri. Menghabiskan pendapatan istri untuk urusan di luar kebutuhan keluarga. Drama sekali bukan?

Ada banyak situasi dalam rumah tangga orang lain yang kita tak paham kebenarannya kecuali dari salah satu pihak aja.  Kecuali anda konselor. Anda mungkin bisa mendapatkan cerita secara utuh.

Di antara pro-kontra istri bergaji tinggi daripada suami, hari ini kita berada di situasi abnormal. Masih bekerja saja sudah beruntung. Tak peduli suami atau istri. Asal keluarga utuh dan tercukupi kebutuhannya.

Setahun ini menjadi masa adaptasi panjang bagi sebagian keluarga. Pandemi dan resesi secara perlahan membuat definisi bekerja tidak lagi dominan diperankan laki-laki atau suami. Masa bodoh soal gaji siapa yang lebih tinggi. Masih berpenghasilan saja sudah disyukuri.

Di salah satu dusun di Yogyakarta, saya menemukan para perempuan yang sebelumnya mencukupkan diri di rumah, kali ini berdaya dari rumah. Pandemi mengubah situasi ekonomi keluarga. Para suami mendapat PHK atau pekerjaannya tidak selancar sebelumnya.

Alih-alih memikirkan pekerjaan yang sesuai passion atau latar belakang pendidikan, para perempuan ini memilih bangkit. Mereka memilih mengerjakan apa saja yang baik, menghasilkan dan minim meninggalkan keluarga. Memproduksi makanan ringan dan berjualan salah satunya. Pasar tiban di Sidokerto menjadi lokasi pemasaran mereka.

Dalam situasi di atas, istri berpenghasilan lebih tinggi bukan menunjang gaya hidup siapapun. Mereka hanya menolak tumbang dan memilih berdaya. Semangat ini semoga menginspirasi para pencari nafkah keluarga.

Tak masalah penghasilan istri lebih tinggi, asal suami paham kewajiban menanggung nafkah tetap di pundaknya bukan dari tangan istri.

Baca: Agar Wanita Karir Lebih Hemat Energi Urus Rumah Tangga

Tak masalah kemana istri gunakan penghasilannya. Untuk bersedekah pada suami dan anak-anaknya atau membeli seperangkat skin care ala Korea, sebab itu uang istri bukan uang keluarga. Tapi akan lebih bijak jika istri memprioritaskan kebutuhan rumah tangga jika memang dibutuhkan.

Dalam tuntunan agama saya, tak masalah istri berpenghasilan lebih tinggi selama suaminya rida ia bekerja.

Rumah tangga bukan forum transaksi yang isinya laba rugi.

Kita sedang membangun peradaban dari rumah di mana ada pemimpin dan yang dipimpin di dalamnya. Keduanya memiliki peran berbeda yang saling melengkapi. Siapapun yang berpenghasilan lebih tinggi, tidak  mengubah nilai ini dalam keluarga. 

Jadi, sebelum ramai menghitung penghasilan, pastikan dulu di mana posisi anda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun