Sumber: Pixabay
Istilah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah tidak asing lagi bagi para investor di Indonesia. IHSG merupakan gambaran dari kegiatan pasar modal secara umum yang ada di tanah air. IHSG adalah suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga saham seluruh gabungan saham, sampai pada tanggal tertentu. Bursa Efek Indonesia menyajikan harga saham berdasarkan pada hari tersebut dan mengikuti indeks saham yang terjadi pada hari yang bersangkutan. Adapun pergerakan IHSG dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Pengamat Pasar Modal Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Reza Priyambada, kunci dari pergerakan IHSG adalah perubahan harga saham yang ada diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).Â
Pandemi Covid-19 yang menyerang seluruh dunia, ternyata berdampak pada pasar modal Indonesia. Terjadinya banyak perubahan dan lika-liku harga saham di pasar modal pada saat itu. Pandemi memantik banyak perubahan pada IHSG, semenjak pemerintah mengumumkan pada tanggal 2 Maret 2020 yaitu kasus pertama Covid-19 hingga tahun selanjutnya yang mencapai 1,34 juta jiwa, Harga saham ikut mengalami gejolak dengan harga ritel hingga mencetak rekor baru.
Pada 2 Maret 2020, kasus pertama infeksi virus corona diungkap ke publik. Setahun berlalu, jumlah kasus infeksi kini telah mencapai 1,34 juta orang. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam setahun terakhir mengalami kenaikan dan penurunan. Pada 3 Januari 2020, IHSG masih bertahan di 6.323. Indeks meninggalkan level 6.000 setelah berakhir dan ditutup di 5.940 pada 31 Januari 2021. Memasuki Maret 2020, indeks mengalami penurunan yang signifikan dan menuju titik nadir pada 24 Maret 2020. Saat itu, IHSG ditutup di level 3.937 atau turun 26,55 persen sejak awal tahun.
Laju Indeks Harga Saham Gabungan turun drastis dalam laju tercepat sejak krisis 1998 pada kuartal I/2020, sebelum pulih secara gradual mulai pertengahan kuartal III/2020. Pandemi menimbulkan kepanikan di lantai bursa. Investor berbondong melakukan aksi jual karena takut mengalami penurunan harga dan penurunan nilai saham. Beberapa kali Bursa Efek Indonesia menerapkan trading halt untuk menahan laju koreksi.
Namun hal unik terjadi, saat IHSG berada di level terendah justru banyak investor ritel domestik yang memanfaatkan momentum ini untuk masuk pasar saham. Dari sinilah, investor generasi baru atau disebut "investor generasi corona" muncul.
Oleh karena itu, banyak peneliti yang melakukan penelitian berkaitan dengan bagaimana laju investasi sebelum dan setelah terjadinya Covid-19. Penelitian ini melihat IHSG sebagai variabel nya dan melihat pengaruhnya dengan makroekonomi, fundamental perusahaan, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya.
IHSG dan investasi sebelum masa Covid-19
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada penutupan tahun 2019 menghasilkan kinerja positif, meskipun gagal menembus level 6.300. Berdasarkan data Bloomberg, IHSG melakukan tren positif dengan penguatan 1,7 persen ke level 6.299,54 pada akhir perdagangan Senin (30/12/2019) dari penutupan akhir 2018 di level 6.194,49. Indeks pada tahun ini memiliki perubahan ke arah positif dibandingkan tahun 2018. Tahun sebelumnya, IHSG mencatat return negatif -2,53 persen meskipun sempat mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa saat itu.
Dalam perjalanannya di tahun 2019, indeks terus bergerak fluktuatif. Indeks sempat menyentuh level 6.547,88, level tertingginya di tahun 2019 pada 6 Februari 2019. Namun, menjelang pertengahan tahun indeks kembali tertekan, bahkan menyentuh level 5.828,86 pada bulan Mei. IHSG pun berhasil mengantarkan 55 perusahaan melakukan perdagangan saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) sepanjang tahun ini. Realisasi jumlah emiten baru itu disebut sebagai aktivitas initial public offering (IPO) tertinggi di antara bursa-bursa di kawasan Asia Tenggara dan peringkat ke-71 di dunia.
Makro ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi IHSG pada tahun itu, seperti volume perdagangan saham, nilai tukar, dan suku bunga. Adapun faktor ini menjadi salah satu hal terpenting, mengingat kondisi inflasi dan suku bunga di Indonesia sangat fluktuatif dan cenderung tinggi, sehingga akan mempengaruhi keputusan investor untuk menanamkan modalnya. Hal ini mungkin terjadi pada tahun-tahun sebelum Covid-19 sehingga nilai IHSG cukup tinggi pada masa itu.
IHSG dan investasi pada saat covid masa Covid-19
Sumber: https://ihsg-idx.comPada gambar tabel di atas menunjukan, IHSG dari tahun sebelum Covid-19 yang masih berfluktuasi, namun pada saat Covid-19 menyerang Indonesia, grafik IHSG langsung menurun tajam hingga ke level 3000. Hal ini dipengaruhi dengan faktor makroekonomi yang mengalami perubahan untuk menahan pandemic Covid-19. Misalnya saja inflasi yang terjadi karena barang-barang kebutuhan sehari-hari yang semakin langka dan sulit diproduksi mengakibatkan terjadi perubahan pada IHSG dan saham secara langsung. Hal ini juga berdampak pada nilai kurs yang meningkat, karena kegiatan ekspor impor yang tersendat karena PSBB dan karantina pada masa Covid-19.
Secara konkrit, yaitu pada 24 Maret 2020 IHSG sudah menyentuh level 3.937. Padahal di awal tahun IHSG berada di level 6.300-an. Turun begitu jauh. Dari data tersebut, dapat kita ketahui banyak saham yang tumbang.
IHSG dan investasi setelah masa Covid-19
Covid-19 mulai dapat ditangani dan pulih setelah banyak kebijakan pemerintah seperti PSBB, karantina hingga vaksinasi sudah berjalan. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi, di acara CEO Networking 2021, Selasa (16/11) menyebutkan "Pasar modal Indonesia telah pulih dan kembali mencatatkan rekor-rekor pertumbuhan baru baik dari segi perdagangan, pertumbuhan perusahaan tercatat serta investor"
Ia menyebutkan juga, IHSG dapat meraih posisi baru di level 6.691 pada 11 November 2021 diikuti dengan kapitalisasi pasar yang mencapai total Rp8.215 triliun. Selain itu, rata-rata nilai transaksi meningkat 45 persen menjadi Rp13,4 triliun per hari. Rata-rata frekuensi transaksi juga meningkat hingga sebanyak 91 persen menjadi 1,3 juta transaksi per hari. Kenaikan frekuensi ini diikuti pula dengan peningkatan volume transaksi sebesar 76 persen menjadi 20 miliar saham per hari.
Tren positif masih berlanjut hingga ke tahun berikutnya. Pertumbuhan IHSG pernah menembus rekor baru, yakni pada level 7.318,016 pada 13 September 2022. Sementara itu, kapitalisasi pasar per 28 Desember 2022 tercatat mencapai Rp 9.509 triliun atau naik 15,2 persen dibandingkan posisi akhir 2021 yakni Rp 8.256 triliun. Frekuensi transaksi harian telah mencapai 1,31 juta kali transaksi atau naik 1,1 persen dibandingkan akhir 2021 dan merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan Bursa di Kawasan ASEAN sepanjang empat tahun terakhir. Pertumbuhan juga tercermin pada rata-rata volume transaksi harian yang telah mencapai 23,9 miliar saham atau naik 16 persen dibandingkan akhir tahun lalu.
Penjelasan faktor makroekonomi yang pengaruhnya terhadap sikap investasi
Suku bunga sendiri berpengaruh terhadap pergerakan harga saham adalah suku bunga karena kenaikan tingkat bunga yang signifikan mengakibatkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) karena investor lebih memilih menyimpan uang di bank dibandingkan menginvestasikan uangnya pada pasar modal.
Inflasi mempengaruhi pergerakan IHSG dengan mengurangi minat investor untuk berinvestasi pada perusahaan go public yang listing di Bursa Efek Indonesia. Meningkatnya inflasi merupakan sinyal yang relative buruk bagi investor pasar modal. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan biaya operasional perusahaan yang kemudian akan mengurangi profit perusahaan. Akibatnya profit yang diperoleh dijadikan modal cadangan (laba ditahan) oleh perusahaan, sehingga dividen yang dibagikan kepada investor pun berkurang bahkan tidak dibagikan.
Selain inflasi dan suku bunga faktor makroekonomi berikutnya yang mempengaruhi IHSG adalah nilai tukar mata uang atau lebih sering disebut kurs. Perubahan nilai kurs akan membuat gejolak dalam investasi pasar modal. Melemahnya rupiah terhadap mata uang asing membuat peningkatan biaya produksi dengan bahan baku impor. Perusahaan yang berorientasi pada ekspor impor biasanya bertransaksi dalam mata uang Dollar AS (USD). Jadi apabila rupiah mengalami depresiasi otomatis akan meningkatkan biaya produksi. Hal ini akan berdampak pada penurunan profit perusahaan. Akibatnya akan berpengaruh pada berkurangnya dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H