Predatory Pricing di TikTok Shop: Ancaman Terhadap UMKM?
TikTok Shop adalah fenomena baru dalam dunia e-commerce yang telah menarik perhatian banyak orang. Namun, munculnya TikTok Shop juga membawa beberapa permasalahan, salah satunya adalah praktik predatory pricing. Dalam artikel ini, kita akan mengungkap apa itu predatory pricing di TikTok Shop dan bagaimana hal ini menjadi ancaman terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Apa Itu Predatory Pricing?
Predatory pricing adalah strategi bisnis di mana penjual menetapkan harga produk jauh di bawah biaya produksi atau modal yang dikeluarkan. Tujuannya adalah untuk menarik pelanggan dengan harga yang sangat rendah, sehingga pesaing lain sulit bersaing. Namun, setelah mengeliminasi pesaing, penjual dapat menaikkan harga secara drastis.
Predatory Pricing di TikTok Shop
TikTok Shop dinyatakan melakukan predatory pricing dengan cara menjual produk di bawah harga modal. Hal ini dapat merugikan UMKM yang tidak dapat bersaing dengan harga yang sangat rendah ini. Keberadaan TikTok Shop sebagai platform besar memberi mereka keunggulan yang signifikan.
Keluhan dan Dampak
Beberapa keluhan yang muncul terkait predatory pricing di TikTok Shop adalah:
- Ruginya UMKM: UMKM kesulitan bersaing dengan harga yang jauh di bawah modal.
- Kualitas Produk Menurun: Penjual mungkin mengurangi kualitas produk untuk mempertahankan harga rendah.
- Monopoli: TikTok Shop dapat menciptakan monopoli setelah menghilangkan pesaing.
Tindakan Pemerintah
Pemerintah telah mulai mengatur perdagangan di media sosial atau social commerce untuk melindungi UMKM dari predatory pricing. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa UMKM tetap bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin sengit.
Sekarang yang menjadi pertanyaannya; apakah dengan tutupnya TikTok Shop lantas masalah jadi selesai?
TikTok Shop-nya yang Ditutup atau Keran Impornya yang Harus Diatur?
Kalau tujuannya untuk melindungi UMKM dan supaya produk dalam negeri tidak tergilas oleh barang murah impor dari Tiongkok, ditutupnya TikTok Shop bukan keputusan yang tepat.
Barang murah yang datangnya dari Tiongkok sudah ada jauh sebelum ada TikTok, dan bukan hanya dijual di TikTok Shop. Produk-produk murah dan produk bajakan dari Tiongkok sudah lama berseliweran di marketplace.
Jadi, bukankah lebih tepat yang diregulasi adalah impornya? Mulai dari cara masuknya, perizinannya, pajaknya, harga jualnya, dan kategori produk apa saja yang boleh masuk dan yang tidak boleh masuk, itulah yang harus diatur.
Menutup TikTok Shop tidak menghentikan Tiongkok untuk jualan mengingat mereka masih bisa menyalurkan produk-produk mereka ke marketplace. Justru yang sekarang kelimpungan adalah UMKM karena mereka tidak bisa lagi jualan di TikTok Shop yang notabene mampu mendatangkan banyak pembeli.
Bayangkan kalau TikTok Shop masih ada namun produk impor dari Tiongkoknya sudah dibatasi, tidak bisa sembarangan masuk. Pedagang yang jualan gayung bisa laris tanpa harus khawatir akan ada gayung dari Tiongkok. Atau pedagang jaket kulit dari Garut bisa laris tanpa harus khawatir akan ada jaket kulit imitasi dari Tiongkok.
Dan 1 hal lagi, predatory pricing memang sudah ada jauh sebelum ada TikTok Shop. Siapa predatornya? Pedagang grosir!
Di saat ritel harus membeli dari pedagang grosir dalam jumlah banyak untuk dijual eceran, eh pedagang grosirnya juga jualan eceran dengan harga satuannya yang sudah pasti lebih murah.
Kesimpulan
Mengatasi predatory pricing dan melindungi UMKM dan produk dalam negeri tidak bisa diselesaikan dengan menutup sebuah fitur yang ada di dalam sebuah platform media sosial. Jika demikian, Kita sama saja seperti membersihkan sampah yang terdampar dan berserakan di pantai, tapi membiarkan sampah-sampah di muara sungai mengalir ke laut, berakhir di pantai.
Baca Juga:Â Algoritma TikTok Tidak Bisa Ditebak, Ini Penyebabnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H