Pendudukan Jepang atas Indonesia memiliki nilai yang sangat bermakna dan strategis dalam menghadapi sekutu. Dimana strategi Jepang mendasarkan seluruh kebijakannya pada kepentingan untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.Â
Tak hanya mengeksploitasi sumber daya manusia saja, melainkan juga sumber daya alamnya. Hal terpenting dari ekploitasi ini adalah untuk memenuhi kebutuhan perang. Seperti adanya kebijakan penyerahan wajib untuk menanam tanaman yang bisa menghasilkan bahan untuk mendukung perang.Â
Apa saja tanaman yang wajib ditanam oleh rakyat Indonesia dan harus diserahkan ke Jepang, serta mengapa disebut istimewa tanaman tersebut? Pada artikel kali ini, kita akan membahas tanaman istimewa saat masa penjajahan Jepang, yaitu tanaman Jarak dan Kapas. Kita akan bahas satu persatu terkait kedua tanaman tersebut saat masa pendudukan Jepang.
1. Tanaman Jarak
Jarak memiliki berbagai jenis, sedangkan yang digunakan Jepang saat itu yaitu Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.). Jarak pagar adalah tanaman yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai pagar/pembatas jalan, tanaman obat (sakit gigi), dan penghasil minyak untuk lampu. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh di daerah tropis dan sub tropis dengan kisaran curah hujan bervariasi antara 200-2000 mm/tahun. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah, tetapi pertumbuhan yang lebih baik dijumpai pada tanah-tanah ringan atau lahan-lahan dengan drainase dan aerasi yang baik (terbaik mengandung pasir 60-90%). Tanaman ini dapat pula dijumpai pada daerah-daerah berbatu, berlereng pada perbukitan atau sepanjang saluran air.Â
Setelah kedatangan Jepang tanaman ini sangat istimewa dan diprioritaskan. Biji dari tanaman ini mengandung minyak yang dapat dijadikan bahan bakar pesawat terbang. Jumlah biji jarak yang mencapai 7.500 bisa digunakan untuk menerbangkan pesawat selama satu jam. Semakin meningkatnya kebutuhan akan tanaman jarak, maka dibentuklah badan yang bernama Senda Shokai yang bertanggung jawab mengenai tanaman jarak. Pada saat itu badan ini bertugas mengeluarkan selebaran dan famlet-famlet yang berisi anjuran kepada rakyat Indonesia untuk menanam Jarak.Â
Lalu bawahan dari badan ini yaitu Jarak Shiidoin, bertugas memberikan penyuluhan dan bimbingan langsung mengenai penanaman jarak. Karena pada waktu itu terdapat keterbatasan lahan, dimana sebagian besar sudah ditanami tanaman pokok seperti padi. Maka solusinya adalah para rakyat dianjurkan menanam jarak diberbagai tempat yang memungkinkan bisa ditanami, seperti pinggir jalan ataupun halaman sekolah. Anjuran penanaman jarak disertai ancaman agar mencapai target. Dimana jika tidak mencapai target, para Kucho ataupun pejabat yang mengurusinya akan mendapatkan tekanan bahkan hukuman dari Jepang.Â
Jika warga yang sudah bersedia menanam dan menyerahkan tanaman jarak maka akan dibayar dengan beberapa liter minyak tanah, bukan uang. Setiap 1 kg biji jarak akan mendapat 0.3 liter minyak tanah. Maksud dari penukaran biji jarak dengan minyak tanah yaitu agar rakyat Indonesia tidak menggunakan biji jarak sebagai alat penerangan rumah, dan untuk menggantikannya menggunakan minyak tanah.Â
Menurut salah seorang narasumber yang saya wawancarai bernama Harso (81 th). "Sudah lama dan terbiasa rakyat Indonesia menggunakan biji jarak sebagai alat penerangan rumah. Dengan cara pecahkan dahulu biji jarak agar terpisah dari kulit yang melapisinya, lalu isi bagian dalam dari biji jarak tersebut digerus dan dinyalakan. Maka jadilah lampu teng/lampu pelita yang menyala dengan bahan baku biji jarak," Ujarnya kepada saya, Rabu (26/05/2021).
Seiring dengan menipisnya ketersediaan minyak tanah dari Jepang, maka timbullah kecurangan dari pihak Jepang. Dimana rakyat Indonesia tetap wajib menyerahkan biji jarak, tetapi tidak mendapat imbalan minyak tanah. Maka dari sini dapat kita lihat bukti Jepang dalam mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia salah satunya tanaman jarak, dan rakyat yang sudah bekerja keras menanamnya tidak mendapat imbalan.
2. Tanaman Kapas
Tanaman kapas merupakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis sampai sub tropis. Kapas sebenarnya adalah serat yang diperoleh dari beberapa tanaman berkayu dari jenis Gossypium. Serat halus yang menyelubungi biji tanaman kapas ini kemudian menjadi bahan penting dalam industri tekstil untuk dijadikan benang. Di bandingkan penanaman jarak tanaman kapas dapat tumbuh dengan subur di daerah yang memiliki curah hujan yang cukup yaitu kira-kira 1,500 mm sampai 3 mm.Â
Tanaman tersebut ditanam pada musim penghujan dan dipanen pada saat kemarau. Walaupun penanaman kapas yang baik adalah bulan Februari, tetapi penanaman tersebut baru dapat dilaksanakan pada bulan April untuk menunggu padi usai dituai. Di Indonesia, pengembangan tanaman kapas diawali sejak zaman pemerintah Belanda melalui program tanam paksa.Â
Setelah pemerintahan Hindia Belanda berakhir, program ini dilanjutkan oleh pemerintah Jepang yang menjajah Indonesia pada saat itu. Masalah pokok yang menyangkut kehidupan rakyat, selain pangan adalah sandang, karena memang sejak masa sebelum pecah perang masalah sandang di Indonesia sangat tergantung kepada impor dari negeri Belanda.Â
Untuk mengatasi masalah sandang ini Jepang mengusahakan percobaan penanaman kapas, dimana jika warga menanam kapas akan ditukar dengan beberapa meter kain untuk dijadikan pakaian. Di Jawa, daerah-daerah yang dipilih untuk tempat percobaan penanaman kapas ialah Cirebon Malang Kediri dan Bekasi. Setelah percobaan berjalan dua tahun yang menghasilkan kapas terbaik adalah daerah Kediri dan Bekasi (Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Hlm: 83).
Saat itu dibentuklah Badan Jepang yang mengurusi penanaman kapas yaitu Menka Saiba Kyokai. Sedangkan pengumpulan biji kapas dikelola oleh perusahaan Jepang yaitu Tozan Noji. Tozan Noji berkaitan dengan distribusi bahan sandang untuk disalurkan kepada penduduk. Saat itu mengalami kendala dimana bahan pakaian yang dibagikan tidak mencukupi jumlah kebutuhan penduduk. Hal ini terjadi karena panitia yang mengurusi pembagian bahan pakaian seperti wedana, kepala desa dengan perangkatnya melakukan penyimpangan. Adapun penyimpangan yang mereka lakukan seperti upaya penimbunan dan menjual bahan tersebut ke pasar gelap.Â
Maka dengan kondisi yang seperti ini berdampak pada rakyat, dimana yang seharusnya menerima jatah pakaian justru tidak menerimanya. Diperparah lagi dengan langkanya kain dan pakaian di pasaran karena dikirim untuk kebutuhan perang dan adanya pengetatan perdagangan. Sehingga dengan kondisi yang semakin sulit mendapatkan pakaian, maka penduduk Indonesia saat itu menggunakan apa saja untuk menutupi tubuhnya.Â
Salah satunya menggunakan karung goni dimana yang semula berfungsi sebagai tempat menyimpan beras dijadikan baju dan celana. Melalui wawancara saya dengan seorang narasumber bernama Harso (81th), ia mengatakan bahwa "Saat masa penjajahan Jepang hampir diseluruh Indonesia mengalami larang pangan dan larang sandang (bahasa Jawa), jika diartikan dalam bahasa Indonesia mahal makanan dan mahal pakaian. Ia mengatakan, dahulu karung goni dijadikan sebagai pengganti pakaian, padahal di dalam karung goni tersebut banyak sekali kutu-kutu yang hidup dan berwarna putih.Â
Maka resiko dari memakai karung goni ini, kulit akan gatal-gatal bahkan mengalami penyakit kulit. Nah mengingat kalau karung goni yang dipakai banyak kutunya, maka cara menghilangkan kutu itu dengan cara merendamnya selama semalam dengan air panas dan keesokan harinya dijemur, sehingga kutu-kutu tersebut akan mati menempel pada karung goni. Pada saat itu para pria menggunakannya sebagai celana. Sedangkan para wanita terkadang tidak menggunakan karung goni, melainkan lembaran karet mentah yang dijadikan sebagai penutup tubuh dari bagian dada sampai perut, atau dalam bahasa jawa dikenal dengan "kemben".
Kondisi yang memprihatinkan tersebut disikapi oleh pemerintah Jepang dengan berbagai anjuran yang mengharapkan rakyat mampu untuk mendermakan pakaiannya yang sudah tua (gombal). Pemerintah menetapkan juga peraturan yang mengharuskan pemilik kain batik untuk mendaftarkan barang miliknya agar tidak menjual, membeli, atau memindahkannya. Penduduk yang melanggar peraturan ini akan dihukum selamanya 1 bulan dan di denda sebanyak-banyaknya 100 rupiah.Â
Selain itu, kampanye untuk menolong orang yang tidak berpakaian, dilakukan secara intensif oleh Jawa Hokokai dan aparat pemerintah lainnya. Bahkan pada bulan april 1944 diadakan "Pekan Pengumpulan Pakaian untuk Rakyat Jelata". Karena masalah sandang ini merupakan masalah yang serius bagi rakyat Indonesia, dimana untuk menutupi tubuhnya saja harus menggunakan barang yang tidak wajar seperti karung goni dan lembaran karet mentah (Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Hlm: 84).
Dapat diambil kesimpulan bahwa dua tanaman istimewa masa penjajahan Jepang ialah Jarak dan Kapas. Mengapa dikatakan istimewa? Karena kedua tanaman ini penunjang untuk memenuhi kebutuhan perang, tanaman jarak untuk bahan bakar pesawat terbang sedangkan kapas untuk membuat pakaian. Sehingga rakyat digalakkan untuk menanam kedua tanaman tersebut dan wajib menyerahkannya kepada Jepang. Maka dari itu, kedua tanaman ini sangat diprioritaskan dan menjadi primadona saat masa pendudukan Jepang.Â
Bagi kita yang hidup di zaman merdeka ini, hendaknya sangat bersyukur. Dimana kita sekarang dapat menikmati hasil dari perjuangan para pahlawan dahulu. Salah satunya yaitu dengan mudahnya kita dapat memakai pakaian yang bagus dan bisa berganti-ganti sesuai fashion yang kita inginkan. Maka merasa cukuplah dengan yang kita miliki, dan selalu bersyukur karena tidak merasakan pedihnya masa penjajahan dahulu.
Sumber:Â
Elvira Sari Dewi. 2014. ASPEK AGRONOMI TANAMAN KAPAS BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN. Online. Tersedia di situs: https://repository.unimal.ac.id/1191/1/Aspek%20Agronomi%20Tanaman%20Kapas.pdf
Julianto Ibrahim. 2004. Eksploitasi Ekonomi Pendudukan Jepang di Surakarta 1942-1945. Online. Tersedia di situs: https://media.neliti.com/media/publications/11766-ID-eksploitasi-ekonomi-pendudukan-jepang-di-surakarta-1942-1945.pdf
Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Budidaya Tanaman Jarak Pagar. Online . Tersedia disitus: http://ppid.pertanian.go.id/doc/1/Budidaya%20Jarak%20Pagar.pdf
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H