Masalahnya, ketika efek manfaat media sosial ini mentok, selesai juga manfaat yang diberikan si pemain buat tim. Inilah situasi yang terjadi pada Pratama Arhan di Suwon FC, seperti yang dialaminya juga di Tokyo Verdy (Jepang) pada periode 2022-2024.
Jika si pemain bisa menjadi pemain reguler, seperti pada kasus Jay Idzes di Venezia (Italia) atau Calvin Verdonk di NEC Nijmengen (Belanda) manfaatnya menjadi lengkap.
Hanya saja, kedua pemain diaspora Indonesia ini berasal dari sistem pembinaan yang sudah rapi di Belanda. Mereka bahkan sempat memperkuat Timnas Belanda di level junior.
Di antara pemain "abroad" yang berangkat dari liga Indonesia, praktis hanya Asnawi Mangkualam saja yang terbilang awet bermain di luar negeri, dan menjadi pemain reguler di klub.
Seperti diketahui, sejak mulai bermain di luar negeri tahun 2021, eks pemain PSM Makassar ini mencatat lebih dari 60 penampilan di Ansan Greeners dan Jeonnam Dragons di kasta kedua Liga Korea Selatan, juga di Port FC (Thailand). Di klub yang disebut terakhir, kontraknya bahkan diperpanjang sampai tahun 2029.
Di lapangan oke, di ruang promosi oke. Inilah gambaran ideal yang diharapkan. Di era kekinian, Idzes, Verdonk, dan Asnawi sudah menjadi contoh ideal.
Sayangnya, gambaran ideal ini belum banyak terjadi pada pemain asal Indonesia (khususnya yang berangkat dari liga Indonesia) dengan Pratama Arhan sebagai kasus aktual, setelah sebelumnya pernah terjadi juga pada Witan Sulaeman dan Egy Maulana Vikri di Lechia Gdansk (Polandia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H