Tahun 2025 diawali dengan cerita muram Pratama Arhan, yang memutuskan berpisah dengan Suwon FC. Keputusan ini bisa dimengerti, karena menit bermainnya di klub kasta tertinggi Liga Korea Selatan sangat terbatas.
Selama setahun waktunya di Suwon FC, pemain Timnas Indonesia ini hanya tampil 2 kali, dengan total empat menit bermain. Catatan menit bermain yang kurang lebih sama dengan durasi memasak mie instan ini, juga dilengkapi dengan satu kartu merah langsung.
Secara statistik, ini adalah alasan logis untuk klub mendepak pemain. Tapi, situasi  Pratama Arhan di Suwon menunjukkan satu realita suram sepak bola era industri.
Seiring mekarnya era sepak bola industri, peran seorang pemain tidak hanya dilihat dari apa yang bisa diberikan di lapangan. Efek yang bisa dihadirkan di luar lapangan pun bisa jadi pertimbangan khusus.
Pada kasus Pratama Arhan, popularitas sang pemain di Indonesia menjadi satu nilai plus. Dengan jutaan pengikut di media sosial, dirinya turut membantu  menaikkan popularitas klub di media sosial.
Maka, wajar kalau eks pemain PSIS Semarang ini cukup banyak muncul dalam iklan promosi klub, khususnya di media sosial. Di sisi lain, manajemen Suwon FC juga sering menyebut, pemain spesialis lemparan jauh ini punya agenda padat bersama Timnas Indonesia, sehingga menit bermainnya di klub terbatas.
Maka, jika ada pemain liga Indonesia yang direkrut klub dari liga top Asia atau klub Eropa, rasa bangga yang muncul sebaiknya jangan berlebihan. Bisa jadi, si pemain hanya dijadikan alat promosi di media sosial, dan jarang dimainkan.
Kalaupun ada nilai plus yang pasti, itu hanya dari program latihan klub dan gaji yang relatif tidak terlambat.
Dengan adanya media sosial sebagai alat promosi, keberadaan pemain dari Indonesia dalam sebuah tim, bisa menjadi satu strategi praktis mengangkat popularitas.
Masalahnya, ketika efek manfaat media sosial ini mentok, selesai juga manfaat yang diberikan si pemain buat tim. Inilah situasi yang terjadi pada Pratama Arhan di Suwon FC, seperti yang dialaminya juga di Tokyo Verdy (Jepang) pada periode 2022-2024.
Jika si pemain bisa menjadi pemain reguler, seperti pada kasus Jay Idzes di Venezia (Italia) atau Calvin Verdonk di NEC Nijmengen (Belanda) manfaatnya menjadi lengkap.
Hanya saja, kedua pemain diaspora Indonesia ini berasal dari sistem pembinaan yang sudah rapi di Belanda. Mereka bahkan sempat memperkuat Timnas Belanda di level junior.
Di antara pemain "abroad" yang berangkat dari liga Indonesia, praktis hanya Asnawi Mangkualam saja yang terbilang awet bermain di luar negeri, dan menjadi pemain reguler di klub.
Seperti diketahui, sejak mulai bermain di luar negeri tahun 2021, eks pemain PSM Makassar ini mencatat lebih dari 60 penampilan di Ansan Greeners dan Jeonnam Dragons di kasta kedua Liga Korea Selatan, juga di Port FC (Thailand). Di klub yang disebut terakhir, kontraknya bahkan diperpanjang sampai tahun 2029.
Di lapangan oke, di ruang promosi oke. Inilah gambaran ideal yang diharapkan. Di era kekinian, Idzes, Verdonk, dan Asnawi sudah menjadi contoh ideal.
Sayangnya, gambaran ideal ini belum banyak terjadi pada pemain asal Indonesia (khususnya yang berangkat dari liga Indonesia) dengan Pratama Arhan sebagai kasus aktual, setelah sebelumnya pernah terjadi juga pada Witan Sulaeman dan Egy Maulana Vikri di Lechia Gdansk (Polandia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H