Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Kata "Para-para"

18 Desember 2024   16:41 Diperbarui: 18 Desember 2024   16:41 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para-para di Pantai Tanjung Binga, Pulau Belitung (Indonesiakaya.com)

Dalam beberapa hari terakhir, "para-para" menjadi satu kata yang viral di media sosial. Penyebabnya, kata satu ini terucap dalam pidato sambutan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam acara Konferensi Besar (Konbes) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta, pada Jumat (13/12/24).

Penggunaan kata "para-para" pada momen ini, merupakan satu contoh terapan, terkait bentuk penggunaan kosakata bahasa Indonesia yang kurang tepat, karena "para" sendiri merupakan kata jamak. Kata satu ini biasa digunakan pada kalimat dengan objek jamak.

Tanpa perlu diulang, sebuah objek yang diawali kata "para" sudah otomatis menjadi objek jamak. Contohnya, "para guru", "para siswa", dan sebagainya.

Terlepas dari kesalahan linguistik sang wakil presiden, mungkin ini adalah satu kesempatan menarik, untuk sedikit belajar memahami kosakata baku bahasa Indonesia di kamus. Kebetulan, bahasa Indonesia adalah satu identitas dasar orang Indonesia,

Ternyata, kata "para-para" (bukan pura-pura) memang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jadi, ini merupakan satu kata baku dalam bahasa Indonesia.

Meski kurang umum digunakan, kata "para-para" ternyata mempunyai tiga arti berbeda. Perbedaan ini merujuk pada fungsi alat tertentu, konteks, wilayah maupun masyarakatnya.

Dalam KBBI daring, kata para-para merujuk pada anyaman bambu dan sebagainya; tempat menaruh perkakas dapur. Jadi, para-para di sini adalah sebuah peralatan dapur.

Fungsi para-para sebagai tempat menaruh perkakas dapur, biasa ditemui pada jenis dapur gaya tradisional di wilayah pedesaan, yang masih memakai tungku dan perapian kayu bakar. Pada konteks dapur era kekinian, fungsi para-para kurang lebih sama dengan rak piring dan gelas, rak bumbu dapur, atau lemari penyimpanan.

Pada konteks masyarakat wilayah pesisir pantai, KBBI daring menyebut, para-para merupakan sebutan pada rak untuk menjemur atau menyimpan ikan. Menjemur ikan sendiri merupakan satu tahapan, dalam proses pembuatan ikan asin.

Salah satu wilayah di Indonesia, yang masih menggunakan para-para secara tradisional adalah Tanjung Binga. Wilayah di Kecamatan Sijuk ini merupakan kampung penghasil ikan asin terbesar di Kabupaten Belitung, yang belakangan dikembangkan Kemenpar menjadi satu destinasi wisata berkonsep desa wisata di Provinsi Bangka Belitung.

Para-para di Pantai Tanjung Binga, Pulau Belitung (Indonesiakaya.com)
Para-para di Pantai Tanjung Binga, Pulau Belitung (Indonesiakaya.com)
Dalam konteks transportasi darat, KBBI daring juga menyebut para-para sebagai sebutan pada rak atau jala untuk menaruh barang-barang (di kereta api).
Posisi para-para yang satu ini biasanya berada di atas kursi penumpang.

Bentuknya memanjang di sepanjang deretan kursi penumpang sebuah gerbong kereta. Selain di kereta api, para-para jenis ini juga bisa ditemukan di moda transportasi bus antarkota antarprovinsi, dengan posisi dan fungsi kurang lebih sama.

Dari ketiga jenis para-para yang ada, para-para di kereta api mungkin menjadi yang paling familiar, khususnya bagi mereka yang sering bepergian memakai moda transportasi kereta api. Meski kosakata "para-para" di sini kurang umum digunakan, bentuk objeknya ternyata ada dan biasa digunakan.

Bagi wilayah dengan dukungan moda transportasi komuter, seperti di wilayah Jakarta dan sekitarnya, para-para bisa dibilang merupakan "teman" sekaligus saksi "perjuangan" pengguna KRL.

Dalam konteks masyarakat pedesaan, keberadaan para-para yang sudah mulai digantikan oleh rak dan lemari, juga menjadi satu bukti perjalanan panjang, dari era tradisional ke modern, sama seperti proses peralihan, dari kompor tungku dan kayu bakar ke kompor minyak, lalu bergeser lagi ke kompor gas.

Uniknya, KBBI daring juga mencatat, kata para-para mempunyai kata sinonim "pagu". Dalam bidang keuangan, kata pagu sendiri mempunyai arti batas tertinggi anggaran.

Entah kebetulan atau bukan, viralnya penggunaan kata "para-para" beriringan dengan pengumuman rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12 persen per tahun 2025. Sebuah gaya "simbolis" yang sedikit mengingatkan kita, pada kebiasaan ayah sang wapres saat dulu  masih menjadi presiden: banyak melempar kode simbol.

Untuk orang dengan jabatan setinggi wakil presiden, kesalahan aplikasi linguistik seperti ini mungkin terlalu elementer. Tapi, daripada melempar kritik yang (biasanya) berakhir jadi angin lalu, kebiasaan "melempar kode simbol", yang pernah lekat dengan keluarga sang wapres, membuat kita perlu melihatnya, dengan sudut pandang agak berbeda.

Bisa jadi, ini adalah isyarat untuk kita lebih  serius belajar bahasa Indonesia. Bisa juga, ini berkaitan dengan pagu APBN atau hal-hal lain.

Jadi, daripada hanya sibuk mengkritik detail kecil seperti ini, kita perlu "mengumpulkan" momen-momen serupa di masa depan, sebagai fragmen puzzle, dari sebuah gambaran besar.

Tidak dibutuhkan kecerdasan untuk  terlihat "lucu", hanya di satu kesempatan, tapi dibutuhkan kecerdasan ekstra, untuk bisa terus "lucu" secara konsisten dalam jangka panjang.

Pelawak legendaris sekelas Warkop DKI dan Rowan Atkinson sudah membuktikan dalam perjalanan panjang selama puluhan tahun. Selebihnya, tinggal seberapa cepat publik dan warganet Indonesia menyadari pola dan alur situasinya, supaya lebih waspada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun