kereta api).
Posisi para-para yang satu ini biasanya berada di atas kursi penumpang.
Bentuknya memanjang di sepanjang deretan kursi penumpang sebuah gerbong kereta. Selain di kereta api, para-para jenis ini juga bisa ditemukan di moda transportasi bus antarkota antarprovinsi, dengan posisi dan fungsi kurang lebih sama.
Dari ketiga jenis para-para yang ada, para-para di kereta api mungkin menjadi yang paling familiar, khususnya bagi mereka yang sering bepergian memakai moda transportasi kereta api. Meski kosakata "para-para" di sini kurang umum digunakan, bentuk objeknya ternyata ada dan biasa digunakan.
Bagi wilayah dengan dukungan moda transportasi komuter, seperti di wilayah Jakarta dan sekitarnya, para-para bisa dibilang merupakan "teman" sekaligus saksi "perjuangan" pengguna KRL.
Dalam konteks masyarakat pedesaan, keberadaan para-para yang sudah mulai digantikan oleh rak dan lemari, juga menjadi satu bukti perjalanan panjang, dari era tradisional ke modern, sama seperti proses peralihan, dari kompor tungku dan kayu bakar ke kompor minyak, lalu bergeser lagi ke kompor gas.
Uniknya, KBBI daring juga mencatat, kata para-para mempunyai kata sinonim "pagu". Dalam bidang keuangan, kata pagu sendiri mempunyai arti batas tertinggi anggaran.
Entah kebetulan atau bukan, viralnya penggunaan kata "para-para" beriringan dengan pengumuman rencana kenaikan pajak PPN menjadi 12 persen per tahun 2025. Sebuah gaya "simbolis" yang sedikit mengingatkan kita, pada kebiasaan ayah sang wapres saat dulu  masih menjadi presiden: banyak melempar kode simbol.
Untuk orang dengan jabatan setinggi wakil presiden, kesalahan aplikasi linguistik seperti ini mungkin terlalu elementer. Tapi, daripada melempar kritik yang (biasanya) berakhir jadi angin lalu, kebiasaan "melempar kode simbol", yang pernah lekat dengan keluarga sang wapres, membuat kita perlu melihatnya, dengan sudut pandang agak berbeda.
Bisa jadi, ini adalah isyarat untuk kita lebih  serius belajar bahasa Indonesia. Bisa juga, ini berkaitan dengan pagu APBN atau hal-hal lain.
Jadi, daripada hanya sibuk mengkritik detail kecil seperti ini, kita perlu "mengumpulkan" momen-momen serupa di masa depan, sebagai fragmen puzzle, dari sebuah gambaran besar.
Tidak dibutuhkan kecerdasan untuk  terlihat "lucu", hanya di satu kesempatan, tapi dibutuhkan kecerdasan ekstra, untuk bisa terus "lucu" secara konsisten dalam jangka panjang.