Sebelumnya, nasib serupa juga pernah dialami kopi Arabika pada tahun 1876, setelah selama hampir dua abad sebelumnya menjadi jenis komoditas kopi tunggal di Nusantara.
Setelah melalui proses penelitian di kebun percobaan wilayah Bangelan (Malang), bibit kopi Robusta inj lalu dikirim ke pulau Sumatera, dengan Solok (Sumatra Barat) dan Jambi sebagai lokasi budidaya awal di luar pulau Jawa, sebelum akhirnya menyebar di seluruh Nusantara, dan menciptakan ciri khas masing-masing.
Kopi Robusta sendiri lalu ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai komoditas kopi andalan pengganti Liberica pada tahun 1907. Kopi Robusta dari Malang secara khusus sempat dikenal dengan sebutan "Amstirdam Java Coffee" di pasar global.
Selain karena tahan hama dan cocok ditanam di dataran rendah, kopi Robusta punya tingkat produktivitas lebih tinggi dari kopi Arabika. Dari sinilah kopi Robusta lalu berkembang menjadi komoditas kopi terbesar di Indonesia.
Uniknya, dalam hal jenama kopi, di era kekinian, kopi Amstirdam dikenal juga sebagai Kopi Dampit, mengacu pada lokasi pasar utama jual beli komoditas (termasuk kopi) setempat.
Pada masa lalu, nama kopi Amstirdam sempat populer, dan mencapai puncaknya di era 1950-1970an, sebelum akhirnya surut di era 1990-an dan belakangan hidup lagi berkat kehadiran kopi Dampit.
Dalam hal karakteristik rasa, kopi Amstirdam alias kopi Dampit mempunyai aroma legit dengan menghadirkan sensasi after taste berupa perpaduan rasa karamel dan coklat yang khas, dengan kadar asam lebih rendah dari kopi Arabika.
Karakter khas yang cenderung konsisten ini menjadikannya salah satu kopi Robusta populer dari Jawa Timur. Selain itu, nilai historis sebagai "titik mula" perjalanan kopi Robusta di Indonesia, menjadikannya semakin menarik untuk dicoba.
Di sisi lain, nama Amstirdam sendiri layak diangkat pemerintah dan pihak terkait sebagai ciri khas atau identitas utama kopi Dampit, karena pernah populer, bahkan sampai mancanegara.Â
Jadi, selain menikmati rasa khas kopi Robusta, di sini kita juga bisa menghidupi semangat "jasmerah" (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) yang dulu pernah dipopulerkan Bung Karno, tentunya dalam perspektif kekinian.
Referensi: