Dalam 3 tahun terakhir, Arsenal menjadi salah satu tim yang cukup berkembang di Inggris. Setelah sempat kesulitan lolos ke Liga Champions, mereka pelan-pelan mampu bersaing di papan atas Liga Inggris.
Di musim 2024-2025, prospek The Gunners kembali bersaing di papan atas Liga Inggris awalnya terlihat cukup menjanjikan. Maklum, selain mempermanenkan kiper David Raya (Spanyol) yang dipinjam dari Brentford, mereka juga mendatangkan Raheem Sterling, pemain lincah yang kenyang pengalaman bersama Chelsea, Manchester City, Timnas Inggris, dan Liverpool.
Ada juga Riccardo Calafiori. bek yang sebelumnya naik daun bersama Bologna dan Timnas Italia. Kekuatan tim juga semakin lengkap, khususnya di lini tengah, dengan kedatangan Mikel Merino dari Real Sociedad, tak lama setelah sang pemain ikut ambil bagian di Timnas Spanyol, juara Euro 2024.
Dengan materi tim utama yang sudah ada, keempatnya jelas diharapkan dapat meng-upgrade kualitas tim, supaya dapat tetap bersaing di papan atas Liga Inggris, sekaligus kompetitif di piala domestik dan Liga Champions.
Prospek menjanjikan itu pun terlihat, dari performa tim yang tak terkalahkan sepanjang bulan Agustus-September 2024, dengan pada prosesnya mengalahkan Tottenham Hotspur 1-0, dan menahan imbang Manchester City 2-2 di Liga Inggris.
Pada awal bulan Oktober, giliran PSG ditekuk 2-0 di Liga Champions. Tapi, lampu kuning lalu menyala di pertengahan bulan ini, tepatnya setelah kekalahan 0-2 atas Bournemouth, yang diwarnai kartu merah William Saliba, plus hasil imbang 2-2 saat menjamu Liverpool di Liga Inggris.
Tren tanpa kemenangan Tim Meriam London di Liga Inggris masih berlanjut di awal bulan November, seiring kekalahan 0-1 di markas Newcastle United, Sabtu (2/11). Gol tunggal Alexander Isak jelang seperempat jam pertandingan, membuat The Magpies sukses merapatkan jarak poin dengan posisi empat besar.
Untuk ukuran tim yang ingin bersaing di pacuan juara, tren performa seperti ini adalah satu kemunduran. Celakanya, situasi akan semakin sulit buat Martin Odegaard dkk, karena lawan-lawan yang akan dihadapi sepanjang bulan November terbilang berat.
Di Liga Inggris, ada Chelsea dan Nottingham Forest yang sama-sama sedang dalam tren positif. Di Liga Champions, Arsenal sudah ditunggu juara bertahan Liga Italia (Inter Milan) dan Portugal (Sporting Lisbon).
Dengan kekuatan lawan, ditambah performa tim belakangan ini, sepertinya November akan jadi bulan sulit buat Arsenal. Memang, soal kapabilitas sebagai pelatih, Mikel Arteta masih cukup oke.
Masalahnya, sisi "aneh" strategi pelatih asal Spanyol belakangan ini rawan jadi titik lemah baru. Seperti diketahui, eks asisten Pep Guardiola ini belakangan mulai menerapkan pendekatan aneh, khususnya dalam hal taktis.
Mulai dari "tidak terbuka" pada media soal cedera pemain, menebar perang kata-kata, sampai bermain negatif, semua cara demi mendapat keuntungan coba dilakukan. Apa boleh buat, sisi artistik Tim Gudang Peluru semakin luntur, dan mereka jadi tim yang cukup menyebalkan untuk dihadapi. Pada titik tertentu, ini malah bisa membuat lawan sangat termotivasi untuk menang.
Yang paling aneh, dalam beberapa tahun terakhir, Arsenal belum punya lagi penyerang murni, dan hanya bergantung pada sosok "nomor 9 palsu" seperti Kai Havertz dan Gabriel Jesus.
Dengan latar belakang sebagai "murid" Pep Guardiola, idealisme Arteta cukup bisa dimengerti, tapi ketika tak ada perbaikan atau perubahan, idealisme ini hanya sebentuk sikap keras kepala.
Guardiola saja pada akhirnya merekrut Erling Haaland, pemain "nomor 9" tulen yang menjadi pencetak gol andalan tim. Jadi, ketika Arteta masih bersikeras dengan idealismenya, sementara performa tim mulai memperlihatkan tren menurun, ini bukan gelagat bagus.
Memang, sejak melatih Tim London Merah di tahun 2019, satu trofi Piala FA plus sepasang trofi Community Shield sudah diraih. Sejumlah pemain bintang pun datang dan pergi.
Masalahnya, ketika progres yang ada cenderung sulit untuk melangkah lebih jauh, sepertinya Arsenal butuh ide baru yang lebih segar. Situasi ini sudah pernah terjadi juga di era Arsene Wenger (1996-2018) yang dianggap sebagai era tersukses klub di era modern.
Setelah meraih gelar Liga Inggris tanpa kekalahan di musim 2003-2004, plus Piala FA di musim berikutnya, Arsenal sempat mengalami puasa gelar antara tahun 2005-2013.
Meski konsisten bermain cantik dan finis di posisi empat besar Liga Inggris, kesan stabil ini malah menjadi stabilitas semu, karena torehan trofi 3 Piala FA dan 3 trofi Community Shield antara tahun 2014-2017, justru menjadi awal penurunan di Emirates Stadium. Apa boleh buat, ketika semua tak bisa diperbaiki, Wenger akhirnya harus hengkang pada tahun 2018.
Situasi seperti yang dialami Si Profesor saat itu sedang terjadi juga pada Arteta. Setelah meraih trofi di tahun pertama, Arsenal tampak kering prestasi, meski mulai stabil di papan atas Liga Inggris.
Dengan progres yang sudah mulai mentok, pengalaman seperti pada era Arsene Wenger seharusnya menjadi satu pelajaran mahal. Ketika performa stabil di liga mulai mengarah ke stagnasi, trofi masih bisa diraih, walau harus mengorbankan kestabilan itu, dan meninggalkan kemunduran di masa depan.
Masalahnya, jika manajemen Arsenal masih punya kesabaran sangat panjang dengan Arteta, berarti finis di posisi empat besar Liga Inggris sudah cukup buat klub kesayangan Gooners, selebihnya bonus.
Andai benar ini yang terjadi, rasanya Arteta akan awet di kursi pelatih, dan eks kapten Arsenal ini bukan tak mungkin akan melampaui rekor Arsene Wenger, sebagai pelatih terlama di klub.
Mungkinkah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H