Masalahnya, sisi "aneh" strategi pelatih asal Spanyol belakangan ini rawan jadi titik lemah baru. Seperti diketahui, eks asisten Pep Guardiola ini belakangan mulai menerapkan pendekatan aneh, khususnya dalam hal taktis.
Mulai dari "tidak terbuka" pada media soal cedera pemain, menebar perang kata-kata, sampai bermain negatif, semua cara demi mendapat keuntungan coba dilakukan. Apa boleh buat, sisi artistik Tim Gudang Peluru semakin luntur, dan mereka jadi tim yang cukup menyebalkan untuk dihadapi. Pada titik tertentu, ini malah bisa membuat lawan sangat termotivasi untuk menang.
Yang paling aneh, dalam beberapa tahun terakhir, Arsenal belum punya lagi penyerang murni, dan hanya bergantung pada sosok "nomor 9 palsu" seperti Kai Havertz dan Gabriel Jesus.
Dengan latar belakang sebagai "murid" Pep Guardiola, idealisme Arteta cukup bisa dimengerti, tapi ketika tak ada perbaikan atau perubahan, idealisme ini hanya sebentuk sikap keras kepala.
Guardiola saja pada akhirnya merekrut Erling Haaland, pemain "nomor 9" tulen yang menjadi pencetak gol andalan tim. Jadi, ketika Arteta masih bersikeras dengan idealismenya, sementara performa tim mulai memperlihatkan tren menurun, ini bukan gelagat bagus.
Memang, sejak melatih Tim London Merah di tahun 2019, satu trofi Piala FA plus sepasang trofi Community Shield sudah diraih. Sejumlah pemain bintang pun datang dan pergi.
Masalahnya, ketika progres yang ada cenderung sulit untuk melangkah lebih jauh, sepertinya Arsenal butuh ide baru yang lebih segar. Situasi ini sudah pernah terjadi juga di era Arsene Wenger (1996-2018) yang dianggap sebagai era tersukses klub di era modern.
Setelah meraih gelar Liga Inggris tanpa kekalahan di musim 2003-2004, plus Piala FA di musim berikutnya, Arsenal sempat mengalami puasa gelar antara tahun 2005-2013.
Meski konsisten bermain cantik dan finis di posisi empat besar Liga Inggris, kesan stabil ini malah menjadi stabilitas semu, karena torehan trofi 3 Piala FA dan 3 trofi Community Shield antara tahun 2014-2017, justru menjadi awal penurunan di Emirates Stadium. Apa boleh buat, ketika semua tak bisa diperbaiki, Wenger akhirnya harus hengkang pada tahun 2018.
Situasi seperti yang dialami Si Profesor saat itu sedang terjadi juga pada Arteta. Setelah meraih trofi di tahun pertama, Arsenal tampak kering prestasi, meski mulai stabil di papan atas Liga Inggris.
Dengan progres yang sudah mulai mentok, pengalaman seperti pada era Arsene Wenger seharusnya menjadi satu pelajaran mahal. Ketika performa stabil di liga mulai mengarah ke stagnasi, trofi masih bisa diraih, walau harus mengorbankan kestabilan itu, dan meninggalkan kemunduran di masa depan.