Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Timnas indonesia dan Level Asia yang "Kaya Rasa"

18 Oktober 2024   08:07 Diperbarui: 19 Oktober 2024   13:14 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan Timnas Indonesia di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia menghadirkan satu rasa berbeda. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, sirkel lawan yang dihadapi bukan lagi Thailand, Vietnam atau Malaysia.

Uniknya, perjalanan tandang yang harus dijalani Tim Garuda terbentang dari Timur Tengah sampai Timur Jauh, dan melebar lagi ke Australia. Sebuah perjalanan yang sangat jauh.

Saking jauhnya, PSSI sampai harus mencarter pesawat, untuk akomodasi tim nasional ke Bahrain dan Tiongkok. Levelnya jelas berbeda dengan perjalanan di kawasan ASEAN.

Itu baru soal jarak tempuh dan akomodasi, yang ternyata membutuhkan persiapan fisik dan biaya ekstra. Untungnya, sejumlah pemain diaspora seperti Thom Haye, Maarten Paes dan Jay Idzes sudah terbiasa dengan perjalanan jauh seperti ini.

Berbekal pengalaman itu, aspek kebugaran fisik relatif tak jadi masalah pelik. Pemain-pemain seperti Asnawi, Pratama Arhan dan Marselino Ferdinan juga cukup terbiasa dengan perjalanan jauh, berkat pengalaman main di luar negeri.

Tapi, diluar pemain "abroad" dan diaspora, tak banyak pemain timnas dari klub Liga 1 yang sekonsisten Rizki Ridho, atau mendapat kesempatan seperti Malik Rizaldi.

Witan Sulaeman yang awet saja terbantu pengalaman bermain di klub liga Serbia, Polandia dan Slovakia. Tapi, pengalaman pernah main di luar negeri tidak sepenuhnya menjamin, karena Egy Maulana Vikri yang pernah main di klub liga Polandia dan Slovakia saja tak masuk rombongan Timnas Indonesia di Bahrain dan Tiongkok.

Alhasil, pemain diaspora masih terus dicari, dengan Kevin Diks sebagai calon tambahan terbaru. Saran supaya pemain dari liga lokal berani ke luar negeri pun terus disuarakan pelatih Shin Tae-yong.

Mungkin, eks pelatih Timnas Korea Selatan ini terkesan kurang percaya pada pemain liga Indonesia. Tapi, jika melihat karakter tim lawan yang dihadapi, saran dan upaya yang didukung penuh PSSI itu sangat masuk akal.

Maklum, meski Jepang, Arab Saudi, dan Australia relatif kalem, mereka cukup kuat secara fisik dan teknik. Tanpa perlu banyak bicara pun, semua sudah tahu, ketiganya adalah tim langganan lolos ke Piala Dunia.

Jika ditambah prestasi di level Asia, prestasi ketiganya yang sama-sama pernah juara Piala Asia, juga sudah menjelaskan, mereka adalah tim papan atas Asia.

Jelas, perlu keunggulan fisik dan teknik, untuk setidaknya tidak jadi bulan-bulanan tiga tim kuat ini. Masalahnya, bekal itu belum sepenuhnya bisa dihasilkan di dalam negeri.

Di atas kertas, Bahrain dan Tiongkok lebih lemah dari tiga tim raksasa itu, tapi keduanya sama-sama doyan melempar provokasi dan "perang urat saraf", yang membutuhkan kesiapan mental ekstra. Lagi-lagi, pemain diaspora dan "abroad" lebih siap dibanding pemain liga lokal soal perkara ini.

Masalah provokasi seperti ini cukup melelahkan kalau diladeni, dan merusak fokus. Maka, ketika PSSI dengan tegas menolak permintaan Bahrain agar pertandingan kedua tim berikutnya tidak digelar di Jakarta, bahkan bersurat ke AFC untuk klarifikasi, itu sudah tepat.

Sisi "bawel" Tiongkok dan Bahrain, lengkap dengan kenakalan mereka di lapangan adalah satu kesulitan tersendiri. Sebelumnya, Tim Merah Putih sering menghadapi "bawel"-nya media Thailand, Malaysia dan Vietnam, yang juga bermain nakal di lapangan.

Tapi, dari perjalanan sejauh ini, di level Asia, situasinya sangat berbeda. Sekali berlarut-larut dalam drama yang ada, itu akan sangat merepotkan.

Terbukti, Thom Haye dkk gagal fokus di Tiongkok, karena (setidaknya sebagian) pikiran tim masih tertinggal di Bahrain, akibat belum "move on" dari kontroversi keputusan wasit saat bermain imbang 2-2 di markas Bahrain.

Jika mentalitas seperti ini masih ada, lupakan dulu mimpi lolos ke Piala Dunia. Bukan karena tidak mampu, tapi karena tim masih belajar soal bagaimana cara menyikapi situasi seperti di Bahrain dan Tiongkok.

Selama belum bisa bersikap dengan benar, selama itu juga Timnas Indonesia belum cukup kapabel untuk bisa lolos ke Piala Dunia. Tim ini masih perlu dibentuk dengan pengalaman serupa dalam jangka panjang.

Kalau sudah cukup matang, barulah mimpi lolos ke Piala Dunia akan terlihat lebih realistis. Otomatis, kalau mau tetap bisa bersaing di level Asia, sudah saatnya obsesi terhadap Piala AFF dibuang, karena terbukti tidak berguna di level Asia.

Dengan melihat dinamika yang ada, maka sudah seharusnya publik sepak bola nasional dan media tidak lagi melempar prediksi rasa ekspektasi, karena sudah terbukti kontraproduktif di Tiongkok dan Bahrain.

Kalau ini masih diteruskan, jangan harap Timnas Indonesia bisa tampil lepas apalagi meraih hasil maksimal, karena beban yang ada terlalu berat, dan menjurus toksik, karena tidak sesuai kapasitas dan porsi aktualnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun