Kebiasaan buruk ini sudah lama membudaya. Maka, ketika wasit memberikan tambahan waktu jauh melebihi yang ditentukan, seperti yang dialami Timnas Indonesia di Bahrain, itu bukan masalah baru.
Inilah satu wajah khas level Asia, yang sejak lama ikut membentuk pola pikir "hasil imbang di kandang sendiri terasa seperti kalah, sementara hasil imbang di kandang lawan adalah sebuah kemenangan". Pada titik ekstrem, ini menciptakan satu pola pikir "tim tamu dilarang menang".
Dalam laga melawan Bahrain, kecenderungan ini terlihat, dari keputusan janggal wasit Ahmed Abu Bakar Al Kaf yang membiarkan injury time di babak kedua bergulir sampai 10 menit lebih, dari yang seharusnya hanya enam menit, yang maksimal bisa bertambah 1-2 menit, karena sempat ada pergantian pemain di menit awal injury time.
Entah sengaja atau tidak, wasit asal Oman ini seperti berencana, ia baru akan meniup peluit panjang, jika Bahrain mencetak gol. Itulah yang akhirnya terjadi di menit ke 99, dan pertandingan selesai di menit ke 100.
Uniknya, nilah satu "ucapan selamat datang" kepada Timnas Indonesia di level Asia, dengan rasa yang lebih menyebalkan dari pertemuan melawan Thailand di level Asia Tenggara.
Memang, hasil imbang melawan Arab Saudi, Australia dan Bahrain membuat mimpi "tingkat tinggi" lolos ke Piala Dunia 2026 sedikit berat, tapi, kalau boleh dilihat lagi, sebenarnya ini bukan target utama PSSI, yang hanya membidik target peringkat 100 besar FIFA.
Lolos ke babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia zona Asia adalah pijakan awal. Selebihnya, Tim Merah Putih harus mulai terbiasa menghadapi hal-hal nonteknis, seperti yang terjadi di Bahrain.
Jika sudah terbiasa dan cukup kuat, baik secara teknis maupun nonteknis, barulah mimpi lolos ke Piala Dunia bisa dikejar. Apa yang terjadi di Bahrain baru titik awal, dan tidak mengejutkan jika terjadi lagi di Tiongkok dan momen lainnya.
Jadi, bukan saatnya lagi Timnas Indonesia, PSSI dan publik sepak bola nasional berlarut-larut meratapi hasil imbang, dan kontroversi keputusan wasit, karena inilah satu wajah khas level Asia.Â
Untuk bisa kompetitif di level Asia, perlu kecerdasan dan kekuatan mental ekstra. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi  katak dalam tempurung di Asia Tenggara  yang masih terus terobsesi dengan Piala AFF.
Bisa?