Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Inilah Level Asia, Garuda!

11 Oktober 2024   02:41 Diperbarui: 11 Oktober 2024   02:58 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul di atas adalah satu pesan yang tersirat, dari hasil imbang 2-2 antara tuan rumah Bahrain versus Indonesia, dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Kamis, (10/10).

Secara permainan, Tim asuhan Shin Tae-yong sebenarnya sudah cukup efektif, karena mampu mencetak dua gol. Meski baru bisa membuat peluang pertama di akhir babak pertama lewat tendangan Ragnar Oratmangoen, peluang itu langsung menjadi gol

Di babak kedua. Indonesia bahkan mampu mencetak gol lagi lewat aksi Rafael Struick, dan hampir saja mengunci kemenangan, andai tak kebobolan di menit akhir, tepat sebelum wasit meniup peluit panjang.

Dengan posisi sebagai tim dengan peringkat FIFA terendah di grup, dan menjalani partai tandang, ini adalah satu hasil yang cukup lumayan. Selain menjaga catatan belum pernah kalah, setidaknya ada tambahan poin yang membuat peringkat FIFA Indonesia kembali naik.

Masalahnya, hasil imbang di Bahrain juga menunjukkan, inilah wujud tingkat kesulitan di level Asia. Celakanya, kesulitan ini langsung menciptakan kombinasi masalah teknis dan nonteknis.

Secara teknis, meski Jay Idzes dkk tampil solid, situasi bola mati masih jadi titik rawan. Gol-gol Mohamed Marhoon, yang masing-masing berawal dari situasi tendangan bebas dan sepak pojok membuktikan itu.

Jika tak segera diperbaiki, titik lemah ini bisa menjadi sasaran empuk di pertandingan berikutnya. Jangan lupa, Timnas Indonesia belum bertemu Jepang, juga masih akan menghadapi Arab Saudi dan Australia sekali lagi.

Diluar urusan teknis, urusan nonteknis juga menjadi catatan. Di Bahrain, Tim Garuda memang bermain dengan rencana strategi yang cukup rapi, dan rencana itu cukup berhasil karena kondisi lapangan cukup oke.

Masalahnya, di level Asia, sebuah partai tandang sering menciptakan situasi bak "mission impossible" bagi tim tamu. Maklum, selain karena faktor tekanan suporter tuan rumah, ada kebiasaan kurang bagus dari wasit, untuk memberi previlese perlakuan khusus kepada tim tuan rumah.

Kebiasaan buruk ini sudah lama membudaya. Maka, ketika wasit memberikan tambahan waktu jauh melebihi yang ditentukan, seperti yang dialami Timnas Indonesia di Bahrain, itu bukan masalah baru.

Inilah satu wajah khas level Asia, yang sejak lama ikut membentuk pola pikir "hasil imbang di kandang sendiri terasa seperti kalah, sementara hasil imbang di kandang lawan adalah sebuah kemenangan". Pada titik ekstrem, ini menciptakan satu pola pikir "tim tamu dilarang menang".

Dalam laga melawan Bahrain, kecenderungan ini terlihat, dari keputusan janggal wasit Ahmed Abu Bakar Al Kaf yang membiarkan injury time di babak kedua bergulir sampai 10 menit lebih, dari yang seharusnya hanya enam menit, yang maksimal bisa bertambah 1-2 menit, karena sempat ada pergantian pemain di menit awal injury time.

Entah sengaja atau tidak, wasit asal Oman ini seperti berencana, ia baru akan meniup peluit panjang, jika Bahrain mencetak gol. Itulah yang akhirnya terjadi di menit ke 99, dan pertandingan selesai di menit ke 100.

Uniknya, nilah satu "ucapan selamat datang" kepada Timnas Indonesia di level Asia, dengan rasa yang lebih menyebalkan dari pertemuan melawan Thailand di level Asia Tenggara.

Memang, hasil imbang melawan Arab Saudi, Australia dan Bahrain membuat mimpi "tingkat tinggi" lolos ke Piala Dunia 2026 sedikit berat, tapi, kalau boleh dilihat lagi, sebenarnya ini bukan target utama PSSI, yang hanya membidik target peringkat 100 besar FIFA.

Lolos ke babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia zona Asia adalah pijakan awal. Selebihnya, Tim Merah Putih harus mulai terbiasa menghadapi hal-hal nonteknis, seperti yang terjadi di Bahrain.

Jika sudah terbiasa dan cukup kuat, baik secara teknis maupun nonteknis, barulah mimpi lolos ke Piala Dunia bisa dikejar. Apa yang terjadi di Bahrain baru titik awal, dan tidak mengejutkan jika terjadi lagi di Tiongkok dan momen lainnya.

Jadi, bukan saatnya lagi Timnas Indonesia, PSSI dan publik sepak bola nasional berlarut-larut meratapi hasil imbang, dan kontroversi keputusan wasit, karena inilah satu wajah khas level Asia. 

Untuk bisa kompetitif di level Asia, perlu kecerdasan dan kekuatan mental ekstra. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi  katak dalam tempurung di Asia Tenggara  yang masih terus terobsesi dengan Piala AFF.

Bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun