Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kopi, Cerita Sebuah Proses

20 September 2024   08:01 Diperbarui: 20 September 2024   08:06 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari proses yang sejauh ini berjalan, saya sebenarnya cukup nyaman menjadi seorang penikmat kopi "moderat". Dalam artian, saya menghormati, bahkan berusaha untuk tidak membahas selera kopi saya dan orang lain, karena itu privasi.

Saya sendiri memilih tidak fanatik apalagi memaksakan selera soal kopi, karena itu perilaku yang bisa menghasilkan kebiasaan tidak sehat. Beda orang, kadang beda selera, tidak selalu bisa dipaksa untuk jadi sama.

Masalahnya, selain "pemaksaan" selera, budaya minum kopi (dalam konteks kekinian) juga kadang menghasilkan "kelas" atau beragam istilah keriting, yang membuatnya terkesan eksklusif. 

Padahal, minum kopi adalah satu hal simpel. Ia hanya "menyalakan lampu bohlam" dan menjadi peluit "kick off" bagi segala hal yang bergulir setelahnya. 

Dari proses kreatif sampai jadi, kopi bekerja seperti penggalan lirik lagu "Kasih Ibu": hanya memberi, tak harap kembali, dan "menyederhanakan keruwetan di dalam kepala menjadi inspirasi yang (seharusnya) menyala".

Jadi, kalau hal yang muncul setelah minum kopi malah rumit dan dikotomis, itu jelas bukan salah kopinya, tapi oknum yang memakai kopi sebagai "pembenaran" atas satu-dua arogansi berpikir, yang pada titik tertentu juga menjadi sebuah obsesi. 

Padahal, minum kopi itu simpel. Tinggal dinikmati, dan saat "lampu bohlam" menyala, biarkan semua berjalan apa adanya. 

Daripada hanya fokus pada hal-hal yang kurang membumi seperti itu, sebenarnya ada satu hal lain dari kopi, yang membuatnya terlihat sangat romantis. Layaknya syair tanpa aksara dan puisi tanpa rima, yang begitu harmonis dalam sebuah alunan nada indah.

Selama tidak bisa menerima rasa pahit cenderung gosong kopi campuran kelas murah, sebaik menikmati rasa dan aroma kopi murni kelas mahal, dan selama masih membagi kopi dalam dikotomi, minum kopi hanyalah perkara pemuasan ego.

Suatu saat, ia akan meninggalkan kekosongan dan rasa jenuh, karena titik pusatnya bukan kopi, tapi ego. Jadi, ini bukan soal kopinya, tapi soal manusia yang meminumnya.

Kopi hanya menampilkan simplisitas, bukan ego, arogansi, dan obsesi rumit yang kosong dalam bungkus kata "filosofi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun