kopi menjadi satu bagian penting yang terkadang sulit dipisahkan dari keseharian seseorang. Bagi saya sendiri, kopi ibarat "pemain nomor punggung 10", terutama saat sedang menjalani proses menulis.Â
Di era kekinian,Memang, ide menulis bisa datang kapan dan dimana saja, termasuk di situasi absurd seperti saat sedang sakit perut, bengong, atau tidur siang. Pemantiknya pun kadang bisa datang semau gue, entah lewat objek "random" yang tak sengaja dijumpai di jalan, sampai pesan khotbah di gereja, yang pada titik tertentu masuk ranah "serius".
Tapi, sejauh proses yang sudah saya jalani selama beberapa tahun terakhir, selain kesehatan, kopi menjadi bagian penting yang secara konsisten selalu berkontribusi. Ibarat pemain nomor punggung 10, kopi selalu memberi saya "faktor x" yang mampu menyalakan "lampu bohlam" dalam kepala.
Sejak pertama kali diperbolehkan "ngopi" saat masuk SMP, sesuai arahan Opa dulu, perjalanan saya terbilang cukup runtut, karena dimulai dari jenis kopi paling banyak di pasaran, yakni kopi sachet plus gula.Â
Dalam konteks budaya di masyarakat Indonesia, ini adalah satu fenomena umum, seperti halnya minum teh, otomatis  dicampur gula.Â
Seiring berjalannya waktu saya bergeser lagi ke kopi murni tanpa gula. Satu hal yang selama bertahun-tahun setelahnya jadi kebiasaan. Berkat kebiasaan ini, saya bisa sedikit belajar mengenali karakteristik rasa kopi, termasuk sensasi "after taste" yang muncul.Â
Secara pribadi, saya sudah menutup pintu selamanya pada kopi sachet, tapi, saya masih sesekali membuka pintu pada es kopi kekinian, mau manis atau pahit, pokoknya siap diminum habis.
Pada titik tertentu, kebiasaan ini lalu jadi satu ciri khas yang paling dikenali lingkaran terdekat. Pernah satu kali, ada teman yang ingin membawakan oleh-oleh khas daerah asalnya, tapi karena tahu persis saya peminum kopi, dia lalu "menyelipkan" kopi sebagai pilihan.Â
Situasi ini lalu terjadi lagi di sejumlah momen, yang tentu saja menjadi "jalan tengah" paling umum. Pemberi dan yang diberi sama-sama senang.
Pengalaman ini sedikit banyak memberi saya keberanian untuk mencoba kopi dari beragam daerah. Uniknya, disinilah saya menemukan, menjadi peminum kopi yang "moderat" ternyata butuh perjuangan.
Padahal, kopi, entah arabika, robusta, liberica atau apapun itu, sebenarnya setara. Mereka punya ciri dan keunikan masing-masing, selebihnya kembali ke daya beli, kemampuan menikmati rasa, dan selera kita.Â
Dari proses yang sejauh ini berjalan, saya sebenarnya cukup nyaman menjadi seorang penikmat kopi "moderat". Dalam artian, saya menghormati, bahkan berusaha untuk tidak membahas selera kopi saya dan orang lain, karena itu privasi.
Saya sendiri memilih tidak fanatik apalagi memaksakan selera soal kopi, karena itu perilaku yang bisa menghasilkan kebiasaan tidak sehat. Beda orang, kadang beda selera, tidak selalu bisa dipaksa untuk jadi sama.
Masalahnya, selain "pemaksaan" selera, budaya minum kopi (dalam konteks kekinian) juga kadang menghasilkan "kelas" atau beragam istilah keriting, yang membuatnya terkesan eksklusif.Â
Padahal, minum kopi adalah satu hal simpel. Ia hanya "menyalakan lampu bohlam" dan menjadi peluit "kick off" bagi segala hal yang bergulir setelahnya.Â
Dari proses kreatif sampai jadi, kopi bekerja seperti penggalan lirik lagu "Kasih Ibu": hanya memberi, tak harap kembali, dan "menyederhanakan keruwetan di dalam kepala menjadi inspirasi yang (seharusnya) menyala".
Jadi, kalau hal yang muncul setelah minum kopi malah rumit dan dikotomis, itu jelas bukan salah kopinya, tapi oknum yang memakai kopi sebagai "pembenaran" atas satu-dua arogansi berpikir, yang pada titik tertentu juga menjadi sebuah obsesi.Â
Padahal, minum kopi itu simpel. Tinggal dinikmati, dan saat "lampu bohlam" menyala, biarkan semua berjalan apa adanya.Â
Daripada hanya fokus pada hal-hal yang kurang membumi seperti itu, sebenarnya ada satu hal lain dari kopi, yang membuatnya terlihat sangat romantis. Layaknya syair tanpa aksara dan puisi tanpa rima, yang begitu harmonis dalam sebuah alunan nada indah.
Selama tidak bisa menerima rasa pahit cenderung gosong kopi campuran kelas murah, sebaik menikmati rasa dan aroma kopi murni kelas mahal, dan selama masih membagi kopi dalam dikotomi, minum kopi hanyalah perkara pemuasan ego.
Suatu saat, ia akan meninggalkan kekosongan dan rasa jenuh, karena titik pusatnya bukan kopi, tapi ego. Jadi, ini bukan soal kopinya, tapi soal manusia yang meminumnya.
Kopi hanya menampilkan simplisitas, bukan ego, arogansi, dan obsesi rumit yang kosong dalam bungkus kata "filosofi".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H