Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cedera

31 Agustus 2024   21:52 Diperbarui: 31 Agustus 2024   21:54 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hari sial tak ada di kalender"

Omongan lama ini mungkin terdengar klise, tapi itulah yang datang di satu Minggu pagi nan cerah. Awalnya, semua masih baik-baik saja, tapi ketika rasa sakit itu tak terbendung, ia muncul tanpa malu-malu dan memberi kotak pandora.

Kotak itu dibiarkan terbuka tanpa tutup, dan mengeluarkan semuanya. Rasa sakit, marah, tak berdaya, lengkap dengan bumbu-bumbu dapur macam sambal mulut pedas, larutan hal toksik, rasa trauma, dan semua hal gila lainnya benar-benar menjadi satu kombinasi maut.

Baca juga: Merdeka(?)

Tak cukup sampai disitu, kotak pandora ini  kadang membawa serta sisi sok tahu. Ada  analisis layaknya detektif handal, yang ternyata hanya satu spekulasi, jika tidak sesuai fakta.

Ada juga label "tubuh lansia" yang dengan enaknya disematkan. Padahal, kalau mau jujur, aku sendiri sudah lama menerima fakta: tubuh yang sejak awal memang sudah "salah cetak" ini bahkan lebih renta dari lansia umur 80-an tahun yang sehat secara fisik.

Jadi, memang tubuh ini dari sananya memang sudah renta, kecil juga. Saking kecilnya, ada teman yang sambil bercanda bilang,

"Mungkin aku cukup pakai satu tendangan, untuk membuat kakimu langsung patah tulang".

Karena faktanya memang begitu, dan mungkin lebih buruk, aku langsung mempergelap candaan "gelap" itu.

"Bukan patah lagi, mungkin lepas. Jadi, mungkin aku bisa ganti ke kaki besi atau kaki kuda. Kamu tahu, seberapa kencang tendangan kakimu ke bola futsal."

Candaan ini membuat kami dan semua yang mendengar terdiam. Mungkin, ini terlalu seram untuk dibayangkan, tapi sudah cukup menegaskan, aku harus sangat hati-hati, sebagaimana seharusnya.

Tapi, seperti yang sudah-sudah, ratusan, bahkan mungkin ribuan, momen "aman" akan langsung ambrol hanya oleh satu momen apes.
 
Mungkin, memang begitulah cara kerjanya. Pujian dalam diam hanya satu cara meredam gengsi. Inilah cara sederhana memperpanjang sumbu ledakan, yang ironisnya sangat mudah dipicu.

Ketika diam jadi satu cara memuji, sekalinya tak sesuai harapan, ledakan yang ada akan otomatis membuat seluruh isi kotak pandora akan keluar seperti air bah.

Kadang, cara seperti ini bisa membuat kapok, tapi cedera pada dasarnya bukan satu kesalahan, apalagi kalau memang tak disengaja.

Boleh saja ada alasan, ini adalah cara supaya tidak cengeng. Masalahnya, jika rasa takut dipelihara, rasanya sangat menyiksa, dan semakin menyiksa saat cedera datang. Apa boleh buat, sekalipun cedera sangat jarang terjadi, rasa sakitnya terasa rumit.

Pada titik tertentu, rasa sakit dan marah mungkin bisa jadi alasan untuk membalas, bahkan mungkin dengan cara lebih kejam. Buat apa?

Mungkin, diam dan pura-pura lupa terlihat  naif, seperti halnya sikap lugu yang terlihat sangat bodoh. Ini kombinasi paling muskil di dunia yang cinta mati dengan pembalasan dan frontalisme.

Percaya atau tidak, hal buruk yang tak mampu dibalaskan, biasanya akan mendapat ganti sepadan di momen lain. Beda panggung, beda pelaku, ya begitulah.

Cedera kadang membatasi, dengan membawa serta rasa sakit, tapi cukuplah rasa sakit itu selesai di tubuh, tidak sampai ke hati. Ini sesuatu yang membutuhkan waktu untuk pulih.

Bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa tuntas. Pulih tidak seharusnya dipaksakan, karena itu adalah cara paling cepat menambah luka. Tidak ada pulih dalam posisi menahan rasa sakit, karena itu sebuah kebohongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun