Tapi, seperti yang sudah-sudah, ratusan, bahkan mungkin ribuan, momen "aman" akan langsung ambrol hanya oleh satu momen apes.
Â
Mungkin, memang begitulah cara kerjanya. Pujian dalam diam hanya satu cara meredam gengsi. Inilah cara sederhana memperpanjang sumbu ledakan, yang ironisnya sangat mudah dipicu.
Ketika diam jadi satu cara memuji, sekalinya tak sesuai harapan, ledakan yang ada akan otomatis membuat seluruh isi kotak pandora akan keluar seperti air bah.
Kadang, cara seperti ini bisa membuat kapok, tapi cedera pada dasarnya bukan satu kesalahan, apalagi kalau memang tak disengaja.
Boleh saja ada alasan, ini adalah cara supaya tidak cengeng. Masalahnya, jika rasa takut dipelihara, rasanya sangat menyiksa, dan semakin menyiksa saat cedera datang. Apa boleh buat, sekalipun cedera sangat jarang terjadi, rasa sakitnya terasa rumit.
Pada titik tertentu, rasa sakit dan marah mungkin bisa jadi alasan untuk membalas, bahkan mungkin dengan cara lebih kejam. Buat apa?
Mungkin, diam dan pura-pura lupa terlihat  naif, seperti halnya sikap lugu yang terlihat sangat bodoh. Ini kombinasi paling muskil di dunia yang cinta mati dengan pembalasan dan frontalisme.
Percaya atau tidak, hal buruk yang tak mampu dibalaskan, biasanya akan mendapat ganti sepadan di momen lain. Beda panggung, beda pelaku, ya begitulah.
Cedera kadang membatasi, dengan membawa serta rasa sakit, tapi cukuplah rasa sakit itu selesai di tubuh, tidak sampai ke hati. Ini sesuatu yang membutuhkan waktu untuk pulih.
Bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa tuntas. Pulih tidak seharusnya dipaksakan, karena itu adalah cara paling cepat menambah luka. Tidak ada pulih dalam posisi menahan rasa sakit, karena itu sebuah kebohongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H