Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Suatu Hari Bersama Ajeg Social

12 Agustus 2024   16:55 Diperbarui: 12 Agustus 2024   16:57 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era kekinian, ada banyak upaya pelestarian lingkungan secara kreatif. Mulai dari penggunaan bahan alternatif pengganti plastik, sampai penggunaan bahan daur ulang.

Dari sekian banyak yang muncul ke permukaan, Ajeg Social menjadi satu komunitas yang cukup unik. Disebut demikian, karena mereka mampu mengkombinasi hobi dengan sebuah idealisme.

Dari sisi hobi, komunitas asal Solo ini menekuni sebuah hobi yang membutuhkan kesabaran ekstra, yakni merajut. Sementara itu, dalam hal idealisme, mereka berusaha memberikan dukungan pada gerakan "sustainable fashion" lewat hobi yang ditekuni.

"Sustainable movement" sendiri pada dasarnya merupakan satu gerakan "idealis", karena mengupayakan terwujudnya sesuatu yang "ideal" atas satu hal spesifik, meski pada prosesnya masih terus disempurnakan.

Kombinasi seperti ini biasanya terasa menyenangkan buat yang menjalani, tapi ada satu sudut pandang menarik di sini, karena Ajeg Social bisa melirik satu potensi yang kadang terlupakan, yakni sisa produk tekstil, dalam hal ini pakaian bekas.

Biasanya, pakaian bekas hanya berakhir menjadi "barang sumbangan", dengan catatan, kondisinya masih layak pakai, tapi di tangan Ajeg Social, produk "sisaan" ini mampu dibuat "naik kelas" menjadi hasil karya kreatif baru, seperti yang saya jumpai Minggu, (11/8) lalu.

Bertempat di Pasar Wiguna, Ambarukmo, Yogyakarta, Ajeg Social mengadakan workshop membuat tas rajut berbahan baju bekas. Meski tidak bisa ikut merajut karena kondisi tangan yang kurang kompatibel, saya berkesempatan melihat sedikit "benang merah" yang muncul di sana.

Dari sisi komunitas, event ini menjadi satu "milestone" buat Ajeg Social, karena sejak mulai aktif berkegiatan di awal tahun 2024, mereka sudah mulai mendapat kesempatan "bertandang" ke event di kota lain sebagai sebuah tim.


Untuk sebuah komunitas yang belum genap berumur setahun, ini adalah satu lompatan besar. Ada satu nilai unik komunitas, yang mampu ditangkap pihak eksternal di luar daerah asal, seperti Pasar Wiguna.

Sebelum ini, tepatnya pada bulan Juli 2024 silam, Ajeg Social juga mengirim wakil dalam event Netas On Java Camp besutan Kemenparekraf dan Genpi, yang kebetulan juga saya ikuti.

Dengan kata lain, komunitas satu ini punya potensi menarik, karena punya keberanian keluar dari zona nyaman. Dalam artian, mereka terbuka pada kesempatan dari "luar kandang".

Jika tidak sebatas menempatkan diri sebagai komunitas berbasis kedaerahan, Ajeg Social memang punya kesempatan untuk berkembang lebih jauh, karena sudah bisa mengidentifikasi titik fokus, yang kebetulan sering "tertutup" oleh ingar-bingar seputar sampah plastik.

Jalan ke sana memang masih jauh, tapi selama dalam perkembangannya nanti  tetap adaptif (tanpa melupakan tujuan  awal) mereka bisa mengisi satu ruang kosong di industri produk "sustainable", yakni pemanfaatan sisa produk tekstil, dalam hal ini pakaian bekas.

Titik fokus ini penting, karena dalam banyak kasus, industri produk "sustainable" sering oleng akibat lupa arah, dan tergoda untuk menjadi generalis ketimbang spesialis.

Padahal, dalam industri produk "sustainable", yang rata-rata pelakunya berangkat dari aneka masalah spesifik, keberadaan spesialis adalah kunci, karena mereka tahu betul permasalahan yang ada, dan punya beragam ide mengelola potensi manfaat di balik masalah.

Dari para spesialis inilah, masalah dan potensi yang ada bisa dipetakan, sehingga manfaat yang dihasilkan bisa lebih optimal.

Dengan kompleksnya masalah lingkungan, termasuk yang berkaitan dengan pemanfaatan produk sisa, keberadaan mereka yang mencoba jadi generalis menjadi tidak relevan, karena tidak benar-benar menyentuh inti permasalahan.

Sudah begitu, pendekatannya kurang membumi, karena terlalu mendewakan pemakaian istilah keriting, yang kadang susah dipahami masyarakat. Inilah satu penyakit sebagian pelaku industri produk ramah lingkungan, yang membuat kampanye gaya hidup ramah lingkungan di Indonesia terlihat melempem.

Maka, ketika komunitas seperti Ajeg Social hadir, mereka bisa menjadi relevan di masyarakat, karena bisa mengangkat isu "berat" seperti masalah lingkungan, dengan pendekatan lebih "membumi" karena memulainya dengan baju bekas, yang memang dekat dengan keseharian.

Jika masyarakat sudah teredukasi dari hal-hal sederhana yang dekat dengan keseharian, ada ruang belajar lebih luas, karena mereka memang dilibatkan secara aktif sebagai subjek, bukan objek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun