Dengan kata lain, komunitas satu ini punya potensi menarik, karena punya keberanian keluar dari zona nyaman. Dalam artian, mereka terbuka pada kesempatan dari "luar kandang".
Jika tidak sebatas menempatkan diri sebagai komunitas berbasis kedaerahan, Ajeg Social memang punya kesempatan untuk berkembang lebih jauh, karena sudah bisa mengidentifikasi titik fokus, yang kebetulan sering "tertutup" oleh ingar-bingar seputar sampah plastik.
Jalan ke sana memang masih jauh, tapi selama dalam perkembangannya nanti  tetap adaptif (tanpa melupakan tujuan  awal) mereka bisa mengisi satu ruang kosong di industri produk "sustainable", yakni pemanfaatan sisa produk tekstil, dalam hal ini pakaian bekas.
Titik fokus ini penting, karena dalam banyak kasus, industri produk "sustainable" sering oleng akibat lupa arah, dan tergoda untuk menjadi generalis ketimbang spesialis.
Padahal, dalam industri produk "sustainable", yang rata-rata pelakunya berangkat dari aneka masalah spesifik, keberadaan spesialis adalah kunci, karena mereka tahu betul permasalahan yang ada, dan punya beragam ide mengelola potensi manfaat di balik masalah.
Dari para spesialis inilah, masalah dan potensi yang ada bisa dipetakan, sehingga manfaat yang dihasilkan bisa lebih optimal.
Dengan kompleksnya masalah lingkungan, termasuk yang berkaitan dengan pemanfaatan produk sisa, keberadaan mereka yang mencoba jadi generalis menjadi tidak relevan, karena tidak benar-benar menyentuh inti permasalahan.
Sudah begitu, pendekatannya kurang membumi, karena terlalu mendewakan pemakaian istilah keriting, yang kadang susah dipahami masyarakat. Inilah satu penyakit sebagian pelaku industri produk ramah lingkungan, yang membuat kampanye gaya hidup ramah lingkungan di Indonesia terlihat melempem.
Maka, ketika komunitas seperti Ajeg Social hadir, mereka bisa menjadi relevan di masyarakat, karena bisa mengangkat isu "berat" seperti masalah lingkungan, dengan pendekatan lebih "membumi" karena memulainya dengan baju bekas, yang memang dekat dengan keseharian.
Jika masyarakat sudah teredukasi dari hal-hal sederhana yang dekat dengan keseharian, ada ruang belajar lebih luas, karena mereka memang dilibatkan secara aktif sebagai subjek, bukan objek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H