Bicara soal kiprah tim nasional dari benua Afrika di Piala Dunia dan Olimpiade, ada satu kesan "timpang" yang terlihat. Kesan ini bahkan eksis sampai puluhan tahun lamanya.
Seperti diketahui, sepanjang sejarah Olimpiade, khususnya di cabor sepak bola, benua Afrika sudah punya dua tim peraih medali emas, yakni Nigeria (1996) dan Kamerun (2000). Nigeria bahkan sempat kembali lolos ke final di Olimpiade 2008.
Catatan ciamik ini tak lepas dari keberadaan talenta kelas dunia di tim-tim tersebut. Nigeria generasi 1996 antara lain dimotori Nwankwo Kanu, Kamerun punya Samuel Eto'o, dan Nigeria angkatan 2008 antara lain diperkuat John Obi Mikel.
Tapi, catatan impresif di Olimpiade tampak sulit diwujudkan di Piala Dunia. Kamerun tak pernah lolos dari fase grup sejak Piala Dunia 1990, sementara Nigeria paling jauh melangkah ke perdelapan final.
Jelas, ada ketimpangan di sini, tapi penyebab umumnya adalah karena kesulitan menjaga konsistensi. Fenomena ini baru berakhir, ketika Maroko belakangan mencuat ke level atas.
Seperti diketahui, Tim Singa Atlas telah mencatat sejarah, dengan menjadi tim Afrika pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia dan Olimpiade secara beruntun. Tepatnya di Piala Dunia 2022 dan Olimpiade Paris 2024.
Lolosnya Achraf Hakimi dkk ke semifinal Olimpiade Paris sendiri didapat secara impresif, lewat kemenangan 4-0 atas Amerika Serikat, Jumat (2/8) lalu. Gol-gol Soufiane Rahimi, Ilias Akhomach, Achraf Hakimi, dan El Mehdi Maouhoub melanjutkan catatan impresif mereka di Olimpiade.
Sebelumnya, tim asuhan Tarik Sektioui ini lolos dari fase grup, setelah mengalahkan Argentina 2-1 dan menggulung Irak dengan skor 3-0. Kemenangan atas Argentina sendiri menjadi satu kejutan besar, karena Albiceleste merupakan salah satu tim unggulan.
Di semifinal, Tim Singa Atlas Muda akan berhadapan dengan Spanyol, jagoan Eropa yang lolos ke semifinal, usai menang 3-0 atas Jepang di perempatfinal.
Meski Spanyol lebih diunggulkan, Maroko kali ini juga tak bisa diremehkan, karena mereka punya materi tim yang cukup kuat. Selain Hakimi yang bermain di PSG, ada juga Ilias Akhomach (Villareal), Eliesse Ben Seghir (AS Monaco) dan Oussama El Azzouzi (Bologna).
Di kursi pelatih, Tarik Sektioui juga punya pengalaman bermain di Timnas maroko dan klub Eropa, dengan antara lain pernah memberikan AZ Alkmaar (Belanda) dan FC Porto (Portugal) di era 2000-an. Jadi, ada perpaduan seimbang antara pengalaman para pemain dan pelatih.
Dengan capaian beruntun lolos ke semifinal Piala Dunia dan Olimpiade, Maroko telah menaikkan level tim Afrika secara umum, sekaligus menegaskan status mereka sebagai tim "sesepuh" Benua Hitam.
Maklum, mereka juga merupakan tim Afrika pertama yang lolos dari fase grup Piala Dunia, tepatnya di edisi 1986. Jika dirunut lagi, ternyata tim dengan kostum khas merah-hijau ini juga merupakan tim Afrika pertama yang meraih poin di fase grup Piala Dunia, tepatnya saat bermain imbang 1-1 melawan Bulgaria di Piala Dunia 1970.
Catatan impresif negara ujung barat Jazirah Arab belakangan ini mungkin terlihat seperti kejutan besar. Meski begitu, ternyata ini adalah buah dari apa yang sudah dibangun sejak lama dan bertahap.
Momentum awalnya datang di tahun 2009, ketika Raja Mohammed VI, Raja Maroko, membangun akademi sepak bola nasional, dengan ongkos 13 juta euro (sekitar 22,9 miliar rupiah). Dari akademi ini, muncul anggota tim semifinalis Piala Dunia 2022, seperti Youssef En-Nesyri dan Nayef Aguerd.
Selain membangun akademi dengan kurikulum terpadu dan fasilitas prima di dalam negeri, RMFF (PSSI-nya Maroko) juga aktif mencari pemain diaspora Maroko di luar negeri.
Alhasil, pemain-pemain yang lahir di Eropa seperti Achraf Hakimi (lahir di Spanyol), Hakim Ziyech (lahir di Belanda) dan Brahim Diaz (lahir di Spanyol) masuk ke tim nasional. Di Olimpiade 2024, daftar pemain diaspora ini bertambah, antara lain dengan masuknya Eliesse Ben Seghir (lahir di Prancis), Oussama El Azzouzi (lahir di Belanda) dan Ilias Akhomach (lahir di Spanyol)
Belakangan, tepatnya sejak RMFF mulai dipimpin Fouzi Lekjaa pada tahun 2014, perbaikan infrastruktur olahraga dan pembangunan stadion baru cukup gencar dilakukan, bersamaan dengan perbaikan kualitas kompetisi domestik.
Hasilnya, selain mencapai semifinal Piala Dunia dan Olimpiade, Maroko juga terpilih menjadi tuan rumah Piala Afrika 2025, dan tuan rumah Piala Dunia 2030 (bersama Spanyol, Portugal, Paraguay, Uruguay dan Argentina).
Terlepas dari kegagalan melangkah jauh di Piala Afrika 2023, capaian hebat Sang Singa Atlas dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, seberapa hebat dampak  sinergi padu antara federasi dan pemerintah, dalam mengoptimalkan semua potensi yang ada (baik di dalam maupun luar negeri).
Prosesnya memang tidak sebentar dan cukup rumit, karena melibatkan banyak pihak. Tapi, sekali bisa berbuah, buah-buah lain akan datang dengan sendirinya.
Jika negara-negara Afrika lain meniru dan sukses juga, rasanya capaian Maroko lolos ke semifinal Piala Dunia dan Olimpiade akan jadi satu fenomena tidak mengejutkan di masa depan, karena talenta melimpah yang sudah ada telah diimbangi dengan tata kelola sepak bola berkualitas, dan sinergi padu antarpihak terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H