Beberapa waktu terakhir, sorotan soal tingginya kandungan gula di aneka produk kemasan telah menghasilkan satu kesimpulan: perlunya label kandungan gula dan transparansi komposisi produk secara khusus.
Kesimpulan ini bisa dimengerti, karena sebagian masyarakat mulai menyadari, tingginya kandungan gula dalam aneka produk kemasan adalah satu bahaya nyata buat kesehatan.
Seperti diketahui, jumlah penderita penyakit kronis (akibat konsumsi gula berlebihan) seperti diabetes dan gangguan fungsi organ, dari kalangan usia muda (termasuk Gen-Z) cenderung meningkat.
Kesadaran seperti ini memang bagus, tapi fenomena yang berkembang di lapangan juga menunjukkan, budaya baca dan edukasi di masyarakat Indonesia masih belum berkembang optimal. Mungkin, pendapat ini terasa kasar, tapi menjadi relevan dengan permasalahan yang ada.
Soal budaya baca, kekurangan di sini sudah terlihat, dari satu hal kecil yang sering terlupakan: membaca info komposisi produk di kemasan.
Informasi ini sudah ada sejak lama, dan semakin transparan, karena ada produk yang berani menyebut persentase bahan, yang bisa dihitung dari berat netto produk per kemasan.
Meski belum semuanya berani disebutkan, seharusnya ini bisa membantu. Dari sini konsumen bisa menghitung sendiri, berapa banyak bahan yang digunakan, lengkap dengan jenisnya
Sebagai contoh, dalam satu kemasan kopi sachet dengan berat netto 20 gram, komposisi yang dicantumkan terdiri dari kopi instan (15%), krimer nabati dan gula.
Jadi, jika dihitung secara langsung, kopi sachet tersebut terdiri dari 3 gram kopi instan (15% dikali 20 gram) plus 17 persen krim nabati dan gula. Dengan komposisi seperti itu, ini jelas bukan kopi yang dicampur krimer dan gula, tapi krimer dan gula yang diberi sedikit kopi instan.
Dari sini, kita juga bisa melihat langsung, seberapa mahal harga bahan baku utama produk yang dijual, sehingga komposisi gula dan krimernya sebegitu dominan. Dari sini juga terlihat, mengapa harga kopi sachet masih jauh lebih murah dibanding kopi bubuk murni.