Informasi yang ada sudah cukup terang benderang. Dengan catatan, kalau mau dibaca.
Kalaupun tidak dijelaskan secara rinci, masih ada gambaran soal informasi nilai gizi, yang menjelaskan seberapa banyak takaran saji per kemasan, lengkap dengan info kalori produk.
Sayangnya, entah karena lupa atau memang malas membaca (baik dalam hal membaca info atau situasi secara umum) informasi sepenting itu jadi terlupakan begitu saja.
Kalaupun diingat, itu baru terjadi saat ada dampak negatif muncul, seperti pada kasus label kandungan gula. Jadi, masalah terbesarnya ada pada budaya baca yang lemah dan edukasi yang kurang, kalau tak boleh dibilang tidak ada.
Dua hal ini penting, karena dengan membaca komposisi produk, konsumen bisa melakukan langkah preventif. Meski simpel, ini akan sangat berguna.
Sementara itu, edukasi bisa membantu konsumen mengenali situasi secara umum, dan berpikir lebih objektif. Dengan demikian, keputusan yang akan diambil atau saran yang akan diberikan tidak terpaku pada dikotomi "benar-salah" atau sejenisnya, karena murni bersifat objektif dan bertujuan konstruktif.
Jadi, kebutuhan mendesak di sini bukan berada pada pemberian label khusus, tapi lebih pada edukasi dan penguatan budaya baca.
Kalau tidak diedukasi dengan benar dan dibiasakan membaca info komposisi produk, pemberian label khusus seperti apapun percuma, karena masih belum ada  kesadaran dan pemahaman kolektif dan solid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H