Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Gusdurian dari Dekat

14 Juni 2024   17:38 Diperbarui: 15 Juni 2024   01:15 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana diskusi dalam acara bedah buku "Tuhan Akrab dengan Mereka" (Dok. Jaringan Gusdurian)

Bicara soal sosok Gus Dur, sebagian dari kita mungkin akan mengingat berbagai anekdot dan pemikiran khas beliau, yang kadang terlihat "nyleneh" tapi relevan, dan tepat sasaran.

Ada kalanya suara kritis muncul, tapi tidak sampai membuat pihak yang dikritik langsung "baper" apalagi kena mental, karena disampaikan (antara lain) lewat bungkus komedi.

Meski sudah berpulang pada tahun 2009 silam, jejak pemikiran Presiden Keempat Republik Indonesia ini masih bisa kita jumpai, antara lain di komunitas Jaringan Gusdurian. Komunitas yang berdiri sejak tahun 2010 ini punya jejaring di Indonesia dan luar negeri.

Seperti namanya, komunitas ini konsisten menyuarakan nilai-nilai kebhinekaan, dengan mengangkat kembali jejak pemikiran Gus Dur, baik lewat penempatan diri, sikap, maupun literasi.

Dalam konteks penempatan diri, Gusdurian tidak pernah memposisikan diri sebagai "ormas keagamaan" atau semacamnya. Terbukti, mereka tegas menolak aturan pemerintah tentang Izin Kelola Tambang untuk Ormas Keagamaan.

Dari aspek literasi, Gusdurian konsisten merawat dan mengangkat kembali jejak pemikiran Gus Dur. Jejak pemikiran ini antara lain dibukukan dalam buku berjudul "Tuhan Akrab dengan Mereka", yang diluncurkan  pada Kamis, 13 Juni 2024 lalu, di Ruang Teatrikal Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Buku ini berisi kumpulan tulisan Gus Dur di berbagai media, yang dikompilasi dan dikurasi tim Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Gusdurian. Tulisan-tulisan ini merupakan tulisan lama, bahkan ada yang berusia lebih dari 40 tahun, tapi masih relevan dengan konteks kekinian.

Acara bedah buku yang diisi Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI 2014-2019), Suster Andrea OP (Rohaniawan Katolik), Kalis Mardiasih (Penulis; Pegiat Isu Gender), dan Hairus Salim (Peneliti; Murid Gus Dur) ini menjadi pengalaman pertama saya melihat Gusdurian dari dekat.

Sebelumnya, saya beberapa kali mendapat info dari teman-teman di gereja, tentang acara rutin komunitas ini, yang memang bersifat lintas agama. Gusdurian bahkan pernah mengunjungi GKI Ngupasan, gereja Kristen di kawasan Malioboro, Yogyakarta, gereja tempat saya biasa beribadah, dalam beberapa kesempatan.

Satu hal yang awalnya membuat saya sedikit penasaran adalah, apakah Gusdurian mengangkat juga isu keberagaman dan kebhinekaan, dengan perspektif seperti yang pernah saya jumpai dalam forum serupa bersama Alissa Wahid (Putri Gus Dur) di Lapangan Banteng, Jakarta, tahun 2019 silam. Momen itu saya rekam dalam tulisan "Sepenggal Cerita dari Lapangan Banteng" di Kompasiana.

Ternyata, selain mengangkat isu kebhinekaan, Gusdurian dalam kesempatan ini juga mengangkat perspektif dasar soal cara pandang macam apa, yang membuat sosok Gus Dur begitu unik.

Sosok Gus Dur sendiri terbilang unik, karena ia adalah seorang agamawan sekaligus politisi, dan pemikir sekaligus aktivis. Dengan kata lain, sosok bernama asli Abdurrahman Wahid ini tidak hanya berhenti pada tahap "berpikir", tapi sudah lanjut ke tahap "bertindak".

Perpaduan ini menghasilkan kombinasi daya kontrol sekaligus daya dobrak istimewa, karena pemikiran beliau tidak hanya berakhir menjadi sebuah pemikiran, tapi berlanjut ke hal yang bermanfaat lebih luas, seperti gerakan advokasi dan pergaulan lintas agama.

Alhasil, Gus Dur (dengan segala pemikirannya) bisa luwes membaur di lingkungan majemuk khas Indonesia, tanpa kehilangan akarnya sebagai seorang santri dan agamawan.

Keunikan ini juga menjadikannya sosok yang konsisten memperjuangkan nilai kebhinekaan, termasuk keberagaman dan toleransi, karena nilai inilah, yang turut membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Nilai kebhinekaan mungkin menjadi satu hal yang terdengar "berat" buat sebagian orang, tapi Gus Dur dan Gusdurian mampu membuatnya terlihat ringan, lewat kebiasaan "bersuara" lewat komedi. Sesuatu yang kadang dianggap remeh, tapi sebenarnya membutuhkan kecerdasan khusus.

Komedi di sini tentu bukan komedi asal jadi, tapi komedi yang tepat sasaran. Jadi, wajar kalau ada aturan tidak tertulis berikut di Gusdurian: Gusdurian harus bisa berkomedi.

Bagi saya, dalam posisi sebagai umat beragama minoritas, kehadiran komunitas seperti Gusdurian memberi satu rasa aman dan nyaman, karena mereka melihat keberagaman sebagai satu kekuatan unik, bukan hal-hal dikotomis yang harus disekat atau diseragamkan.

Di sisi lain, pendekatan berkomedi Gusdurian pada isu "berat" seperti kebhinekaan juga menunjukkan satu ciri dasar kejeniusan: membuat hal sulit terlihat mudah, kalau perlu bisa dilakukan secara "effortless".

Untuk saat ini, Gusdurian memang masih akan terus berproses ke sana, karena sosok yang mereka teladani memang sangat unik dan jenius. Tapi, dari mereka, kita melihat bersama, kalimat "Gitu aja kok repot" yang lekat dengan sosok Gus Dur adalah satu hal yang benar-benar diupayakan untuk menjadi satu realitas, ditengah aneka keruwetan di negara tersayang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun